11. Dream

499 48 14
                                    

Aku bangun di sebuah kamar yang indah, di mana atapnya terhias langit biru cerah, awan putih, gelembung sabun dan sinar mentari yang mencolok.

Suasananya begitu cerah dan nyaman hingga sampai ke hati

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Suasananya begitu cerah dan nyaman hingga sampai ke hati.

"Selamat pagi, Sayang." Aku digendong oleh seseorang. Tunggu, aku tidak salah merasa kan? Aku digendong?

Aku benar-benar digendong oleh seorang wanita cantik dengan tangan halus dan hangat. Siapa dia? Ah ... Ibuku kah?

---

Setelah mandi, aku pun diajak wanita itu ke sebuah taman bersama seorang bayi mungil dalam kereta bayi. Kemudian duduk di bawah pohon kenari yang sejuk. Sepertinya aku mengenal daerah ini sebelumnya. Namun terlihat begitu rapi dan berbeda. Menteng.

Saat wanita itu mendorong kereta bayi dengan senyumnya yang hangat. Langkahku terhenti, ada seseorang yang melambaikan tangannya padaku. Seorang pria berbaju putih dengan permen berwarna merah berbentuk kaki, aku ingat rasa manis mangga kesukaanku.

Aku pun melangkahkan kakiku - yang ternyata lebih mungil dari yang kuduga- menuju pria permen itu. Hingga aku dibekap seketika, dibawa lari dengan kencangnya.

"Hu ... hu ... huhu ... ."

Bau busuk menyeruak memaksa hidungku menerima. Sebuah tempat penuh sampah di siang hari terik. Rasa-rasanya aku terlalu lelah menangis hingga mengantuk dan tertidur.

---

Aku terbangun dan mendapati langit sudah sangat gelap. Aku kembali menangis hingga lelah.
"Hu hu hu ... ."
Perutku merintih minta diisi.

"Ayo ikut Paman!" Aku kembali dibawa oleh pria permen itu berlari.

Bruk!

Tubuh kami terjatuh di sekitar got. Kepalaku terkantuk batu begitu keras. Dinginnya angin menembus tulang-tulang kecilku. Aku limbung. Perih kurasakan pada kepalaku bagian belakang.

---

Bunyi bising mesin mobil mengajakku untuk membuka mata. Aku kembali menangis karena kepalaku sangat sakit
dan kudengar ada tangis balasan di samping dudukku. Ya. Kali ini aku duduk di sebelah bayi mungil di jok belakang mobil. Aku tidak ingat siapa pun dan ada di mana sekarang. Mengapa aku ada di sini?

Dua wanita cantik mencoba menengok ke belakang. Aku berhenti dari tangisku karena terpukau dengan cantiknya mereka berdua.

"Huwaa ... hue ... hu huhu," tangisku sambil memegangi ikatan putih di kepalaku.

"Kau sudah bangun rupanya. Tenanglah, sebentar lagi kita sampai."

Aku pun menengok ke samping kiri lagi, bayi laki-laki lucu itu berhenti menangis dan menatapku. Dua gigi susunya membuatnya terlihat lucu.

Kami berhenti di sebuah rumah yang ramai dengan kakak-kakak. Kepalaku begitu sakit membuatku kembali menangis.
Adik bayi gigi dua itu juga ikut menangis meski telah diberi susu.

---

Aku hidup dan tumbuh dengannya. Bayi gigi dua itu diberi nama Yoka Sanjaya. Dia benar-benar seperti adikku karena kemanapun aku pergi, dia selalu mengikutiku. Kami bersekolah bersama, Jaya dua tingkat di bawahku.

---

Semua teman-teman sekelasku bisa bermain sepeda. Ah iya aku tak punya teman di kelas. Mereka hanya kebetulan berada satu kelas denganku di kelas tiga. Aku selalu sendirian di kelas.

Setiap hari di kelas selalu membahas tentang sepeda. Mereka selalu bersepeda di depan Gedung Sate. Sedangkan aku tak memilikinya. Bisa mengendarai pun tidak. Menurut kami anak panti, sepeda adalah barang mewah. Satu-satunya sepeda yang ada di panti adalah sepeda milik bu Indah. Ibu asuh kami.

"Nih, pakai sepedaku." Aku dipinjami Babas. Yongki Bastian, teman sekelas yang tak pernah ku kenal.

"Aku nggak bisa," lirihku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Aku nggak bisa," lirihku.

"Bodoh. Sini kuajari." Dia mengomeliku karena tak bisa bersepeda dan mengajariku.

"Terima kasih. Namaku Phyta G. Rasti. Panggil saja Ii."

"Sudah tahu." Dia sedikit arogan, namun baik juga.

Setiap sore, aku bersepeda di sekitar panti dengan Babas dan Jaya. Namun, aku malah selalu menyusahkan Babas hingga sepedanya harus masuk bengkel selama seminggu.

"Maaf Bas,"

"Haish!"

---

Hari yang sangat menyedihkan adalah saat aku harus berpisah dengan Jaya. Dia di adopsi setelah ia lulus SD. Rasanya begitu sedih.

"Mbak, Phyta. Jangan sedih."

"Aku nggak sedih kok Jay. Kamu yang patuh ya pada mereka." Dia pun mengangguk dan pergi menuju Jakarta. Seperti sebagian hidupku hilang ...

---

Bruk!

"Aww," aku terjatuh dari kursi saat membersihkan sarang laba-laba di depan panti.

"Makanya hati-hati jangan melamun. Masih galau nih? Padahal sudah sebulan ditinggal Jaya. Kamu naksir Jaya, ya, Ta?"

"Dia adikku, Bas."

"Ah ..., ini buat kamu." Babas memberikan kotak kado warna hitam.

"Apa ini?"

"Jangan dibuka sekarang. Oh iya, aku mau pindah ke Jakarta."

Aku membulatkan mataku. Aku mungkin saja telat untuk bisa jatuh cinta di usiaku yang kelima belas tahun ini. Namun, jika harus ditinggalkan sekali lagi oleh orang terdekatku, rasanya ....

---

Babas pergi ke Jakarta sore ini. Keluarganya yang keturunan Korea menurunkan mata sipitnya pada Babas juga. Rumah mewah dekat SD sebelah panti menjadi sepi. Tanpa terasa, air mataku mengalir.

Aku berlari menuju kamar dan mengambil kotak kado hitam dari Babas. Puluhan plester luka berbagai warna. Aku menangis tanpa suara. Babas, dia selalu ada di dekatku setiap aku sakit maupun terluka, meski aku harus siap menerima omelannya sepanjang hari. Hufh ... Dia pergi.

Mengapa harus Jakarta? Kota itu semakin kubenci karena menyerap orang-orang terdekatku. Rasanya aku ingin menyusul kesana, tapi mana mungkin?

---

Keadaan panti di Bandung ini semakin memprihatinkan. Beberapa dana bantuan dari pemerintah telah berkurang jumlahnya. Sehingga, aku dan beberapa anak yang sudah SMP berusaha keras membantu menghidupi adik-adik kami di panti.

-Rey-

-------

(070717)

Hwuaah ... Bagi yang penasaran riwayat Phyta, Rey ulas kisahnya di sini. Jangan Bapereu ya. Vomment juseyo ^^/

TeoremaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang