satu

201 10 22
                                    

Seorang anak laki-laki berumur 16 tahun yang tengah bangun dari ranjangnya.

Rambutnya berantakan pertanda bahwa dia baru bangun dari tidurnya.

Dengan mata yang masih mengantuk, ia mengungap perlahan.

Dengan rasa kantuk yang masih menghinggapi dirinya, ia menoleh ke arah jendela yang sedari tadi memancarkan sinar matahari dari luar.

Sudah pagi.

Kata pertama yang ia ucapkan setelah bangun dari tidurnya.

Setelah rasa kantuk benar-benar menghilang, ia berdiri dari ranjangnya.

Sekarang ia benar-benar tengah berdiri.

Ia berjalan dengan tujuan membuka pintu.

Dengan waktu yang sangat dekat seorang gadis kecil membuka pintu kamarnya dengan tujuan untuk membangunkannya.

Bruk!

Kak Degra!

Teriak gadis-yang merupakan adik Degra-itu dalam hati. Ya, gadis berparas cantik itu terlahir bisu.

Degra terbangun dari tempat ia terjatuh.

Degra tidak bisa marah dengannya. Karena ia tak memiliki alasan yang tepat untuk memarahinya. Ia tak bisa menyalahkan Kara—adik Degra—dengan alasan ia tak memanggil namanya.

Degra membelai rambut Kara.

"Lain kali mengetuk pintu dulu ya, manis" Degra berkata dengan nada selembut kapas.

Kara menganggukkan kepalanya yang berarti mengiyakan.

Mereka berdua berjalan menuju ruang makan. Disana terdapat seorang wanita setengah baya yang pasti merupakan ibu dari mereka berdua. Sara—ibu Degra—telah menyiapkan makanan yang cukup untuk dijadikan sarapan. Sara termasuk wanita yang beruntung karena ia memiliki anak yang tidak pilih-pilih makanan. Mereka makan apa yang telah ibu mereka buat.

"Degra, ada apa dengan jidatmu?" Sara bertanya dengan suara lembut disertai tertawa kecil.

Kara terkekeh. Lalu ia menjelaskan semua yang terjadi dengan bahasa isyarat.

Degra mendengus kesal, bukan karena Kara menceritakan yang tadi terjadi. Tetapi karena Ibu nya ikut menertawainya.

Hari ini, hari pertama Degra masuk di sekolah barunya. Degra dan keluarganya sempat tinggal di rumah ini. Namun, 2 tahun yang lalu mereka pindah ke luar kota karena ada urusan.

Setelah mengucapkan salam kepada Sara dan mengecup pipi Kara, Degra berjalan keluar dari rumah dengan tujuan ke sekolah barunya.

Tidak seperti anak-anak sebayanya, Degra menuju ke sekolahnya dengan berjalan kaki. Bukan karena orang tuanya tidak mengijinkan ia membawa kendaraan bermotor ataupun mobil. Namun Degra sendiri yang tidak mau membawanya. Dengan alasan ia belum berumur 17 tahun sehingga ia tidak memiliki SIM. Degra anak yang baik bahkan terlalu baik. Padahal jarak sekolah dari rumahnya lumayan jauh.

Sesampainya di sekolah, Degra langsung memasuki ruang guru untuk mengurusi beberapa urusan tentang kepindahannya.

"Mau saya antar?" tawar wali kelas Degra setelah mengurusi urusan kepindahan Degra.

"Tidak usah bu, terima kasih." jawab Degra yang pastinya dengan senyum lembutnya.

"Tapi kan Degra belum mengenal daerah sekolah ini." tanya wali kelas Degra memastikan.

"Justru itu, saya berkeliling sekolah ini supaya terbiasa." ucap Degra meyakinkan.

"Bolehlah kalau begitu." ujar wali kelas Degra menyudahi obrolan mereka.

Degra mulai berjalan menyusuri lorong demi lorong dengan tujuan mencapai kelas baru nya. XI-6. Nama kelas barunya. Dia memasuki kelas terbawah dari urutan yang ada. Tetapi, bukan berarti dia berada di kelas anak-anak kurang pintar. Namun pembagian kelasnya dibagi dengan cara acak.

Degra terhenti setelah jarak 5 meteran dari pohon mangga. Bukan karena pohon itu mau roboh ataupun ia melihat hantu yang melayang-layang di pohon mangga dengan mengancam ingin membunuhnya. Namun, ada seorang gadis aneh. Aneh. Terlampau aneh. Seorang anak SMA yang sedang bermain kucing tanpa menghiraukan waktu dan keadaan. Dasar aneh. Degra melihat ke arah jam tangannya. Pukul 08.00.

Minyaww nyaww neko chan~

Suara gadis itu dengan membelai-belai bulu kucing yang ada di depannya. Tiba-tiba kucing itu berguling-guling imut di depannya.

Kawwwaaaiiiii~

Ucap gadis itu dengan meletakkan kedua tangannya di pipinya sembari tersenyum manis.

Degra bingung mengapa gadis aneh itu tidak masuk ke kelasnya. Malah asyik bermain kucing. Degra pun mempersiapkan nafas untuk berbicara.

"He--"

Dalam waktu bersamaan gadis itu menoleh ke arah Degra. Ia menatap dengan tatapan mendalam ke arah Degra. Bukan sebentar, namun dalam waktu yang relatif lama.

Apa gue ganteng banget? Dia ngeliat gue sampai segitunya.

Rasa kepercayaan diri Degra mulai membuncah seakan keluar dari tempat yang tak semestinya.

Namun, gadis aneh tersebut kembali berfokus kepada kucing yang ada di depannya.

Mampus dikacangin.

Ucap Degra dalam hati.

Seketika menjadi hening, entah apa atau siapa yang akan memecahkan keheningan ini.

Detik pertama,

Detik kedua,

Detik ketiga,

Sangat tiba-tiba.

"Wuoh! Jangan-jangan kamu murid baru yang dibicarakan teman-temanku!" Gadis aneh tersebut langsung berdiri lalu berbicara dengan mata terbelalak dan menunjukkan jari telunjuknya ke arah Degra.

"Baru nyadar toh?" ucap Degra dengan santai dan meremehkan.

Satu kata, satu kata yang ia lihat dari gadis itu selain aneh adalah lemot.

Dasar lemot.

Bersambung

HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang