dua

109 7 4
                                    

Detik pertama,

Detik kedua,

Detik ketiga,

Sangat tiba-tiba.

"Wuoh! Jangan-jangan kamu murid baru yang dibicarakan teman-temanku!" Gadis aneh tersebut langsung berdiri lalu berbicara dengan mata terbelalak dan menunjukkan jari telunjuknya ke arah Degra.

"Baru nyadar toh?" ucap Degra dengan santai dan meremehkan.

"Hehehe" gadis itu hanya terkekeh.

"Lo ngapain jam segini disini?" Degra pun mencoba membuka obrolan.

Reflek yang sangat tiba-tiba, gadis itu menarik pergelangan tangan Degra lalu mengajaknya berlari.

"Hwaaa aku lupa kalo udah masuk." suaranya terdengar terengah-engah karena sambil berlari.

"Bego."

"Apa?"

"Gak, lupain aja."

Sekitar 10 meteran dari pintu kelas mereka berhenti. Dengan nafas terengah-engah Degra angkat bicara.

"Baru kali ini gue pertama masuk ke sekolah udah di bawa lari-lari sama cewek aneh."

Respon gadis itu tetap saja ia hanya terkekeh.

Degra lalu masuk ke kelas barunya XI-6 sembari diekori oleh gadis aneh tersebut. Gadis yang berpipi merah chubby dan tampak cengengesan tidak dapat disangka ia adalah teman sekelasnya. Entah hanya perasaan Degra saja, gadis itu tampak sangat bahagia.

Hening.

Itulah kata sifat yang menandai suasana di kelas ini sekarang.

Tiba-tiba terdengar suara jeritan dari semua gadis di kelasnya, lebih tepatnya hampir semua.

Ada satu gadis yang hanya melihatnya sambil tersenyum kalem dan menyejukkan.

Tiba-tiba kelas ini terasa hanya ada mereka berdua.

Tiba-tiba ada satu suara yang memecah keributan.

"Oh iya namamu siapa? Tadi aku belum sempat nanya hehehe." suara kekehan itu tak lain adalah suara milik gadis itu.

"Mika kamu kok bisa ketemu dia sih?" suara salah satu dari gadis yang merubungi Degra.

"Oh namamu Mika?" tanya Degra.

"Ih udah aku bilang walaupun tulisan namaku em i ce ha a tapi bacanya bukan Mika tapi Misa tao, kalo Mika nanti jadi kembarannya Miko yang di Malam Minggu Miko, aku ga rela!" penjelasan panjang lebar Micha yang membuat salah satu temannya yang memanggilnya Mika bungkam.

"Namaku Micha Amaryllis, kamu?" tanya Micha lagi-lagi.

"Oh, nama gue Degra Prawangsa, lo bisa manggil gue Degra ataupun yang berasal dari nama gue kecuali Angsa." jelas panjang lebar Degra yang tidak mau kalah.

Flasback on

"Hujan lagi ya?" ucap gadis kecil yang merupakan basa basi terhadap anak laki-laki yang ada di sampingnya yang sama-sama sedang menikmati turunnya hujan.

"Hm." singkat anak laki-laki itu sambil menganggukkan kepalanya. Di dalam kepala terdapat jutaan pertanyaan yang ingin ia lontarkan terhadap gadis kecil yang ada di sampingnya. Akhirnya pun ia melontarkan salah satu pertanyaan yang ada di kepalanya.

"Namaku Degra Prawangsa kamu boleh memanggilku apa saja asalkan ada di dalam namaku. Oh ya namamu siapa?" dengus lega terdengar dari anak laki-laki itu.

"Berarti aku boleh memanggilmu Angsa! Lihat hujan itu, kalau aku menyambungkan titik-titik itu akan membentuk angsa!" ujar gadis kecil itu sambil menunjuk jari tengahnya ke arah titik-titik hujan sebelum akhirnya pandangannya jatuh ke arah anak laki-laki yang ada di sampingnya.

"Konyol."

"Tidak kok kalau kamu menginginkan apa yang ada di pikiranmu pasti akan nyata kalau kau meyakininya." ucap gadis itu dengan sederhana sambil tersenyum.

Flashback off

Aku merindukanmu.

Tiba-tiba terdengar suara kapur yang mendarat di sampingnya yang dilempar dengan handalnya seperti atlet lempar lembing yang berasal dari guru yang kononnya disebut-sebut killer oleh teman sekelasnya.

"Dengarkan atau keluar."

Itu adalah pilihan singkat namun berjuta makna dan kode-kode rahasia. Jadi Degra memilih pilihan yang pertama.

"Iya pak saya akan mendengarkan." ucap Degra dengan muka masam.

"Cih dasar pengecut, tadinya lo pilih pilihan yang kedua aja, enakan kalo keluar." ucapan dengan entengnya terdengar dari anak laki-laki yang duduk di sampingnya yang merupakan badboy nan imut yang dipuja-puja kaum hawa satu sekolah.
"Kenapa lo ga dengerin aja si guru biar lo dikasih pilihan tadi." ucap Degra balik dengan entengnya.

"Lo si enak dikasih pilihan tadi, kalo gue pasti--"

Kini terdengar lagi suara tancapan kapur setajam silet yang hampir tepat sasaran, hampir. Kapur itu menancap tepat berjarak satu senti dari lengan Saga—yang konon katanya dipuja-puja—. Saga pun menelan ludah seakan-akan sudah tahu apa yang akan guru itu katakan.

"SAGA KERJAKAN HALAMAN 122-130 HARUS SUDAH JADI SAAT JAM SAYA SELESAI!"

"Siap pak!"

Kekuatan yang tidak dapat ditanyakan lagi dalam diri guru itu yang dapat membuat wajah seorang badboy pucat seketika. Degra pun menepuk-nepuk pundak Saga seakan-akan tahu apa yang dirasakannya saat ini. Saga pun menjawab dengan tatapan ikhlas.

Jam pelajaran guru killer itu pun usai, suasana yang ada di dalam kelas ini pun berubah 180 derajat, mereka seakan-akan telah lepas dari rantai penjajahan dan dilahirkan kembali menjadi bayi-bayi yang imut dan menggemaskan.

"Anjai capek bener gua!" suara yang tak lain berasal dari Saga.

Saga menatap Degra yang sedari tadi menatap cewe terkalem yang ada di kelasnya.

"Cantik ya bro." tanya Saga.

"Iya."

"Rain." ucapan Saga yang membuat Degra menoleh. Dan bertanya.

"Rain?"

"Iya namanya."

Rain?

Teriak Degra dalam hati.

Bersambung

HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang