dua satu

20 3 4
                                    

Flashback on

Aku dan Degra keluar dari ruangan dirawatnya Ayah Degra.

"Kau mau kemana habis ini?" tanyaku pada Degra.

"Pulang," jawab Degra dan berjalan meninggalkanku.

"Oh ya sudah. Hati-hati ya," ucapku sambil melambaikan tangan walau tidak ditanggapi Degra.

Aneh. Biasanya dia tidak seperti itu.

Batinku.

Aku segera masuk lagi ke ruangan Ayah Degra.

"Jadi om benar Ayahnya Degra!" ucapku tiba-tiba yang membuat Ayah Degra tersedak saat meminum tehnya.

"Maafkan aku," ucapku cepat-cepat mengambil air putih untuk Ayah Degra.

"Iya, Degra itu anakku," jawabnya.

"Pantas saja om sama menyebalkannya dengan Degra," gumamku.

"Apa kau bilang?!" ucap Ayah Degra.

"Tidak! B-bukan apa-apa," ucapku sambil menggeleng cepat.

"Micha," panggil Ayah Degra.

Micha menoleh.

"Apakah kau mau menjadi orang yang menepati janjiku kepada Degra? Karena mungkin aku tidak sempat melakukannya," pinta Ayah Degra.

Ayah Degra memberiku dua tiket untuk masuk ke Taman Hiburan.

"Mungkin, dia pasti akan membenci Ayahnya. Karena tidak dapat menepatinya," lanjut Ayah Degra.

"Tapi, tolong ajak Degra bersamamu ke Taman Hiburan saat ulang tahunnya, lusa," ucap Ayah Degra.

Aku mengangguk sambil mengambil tiket itu.

10 Mei 2015

"Aku pergi dulu ya Bu!" ucapku sambil menutup gerbang rumahku.

Kemarin aku sudah keluar dari rumah sakit setelah seminggu di rawat di sana.

Aku berjalan ke rumah Degra.

"Eh ada apa? Kenapa ramai begitu?" gumamku.

Aku segera berlari ke rumah Degra.

Tiba-tiba ada seseorang yang melarangku untuk memasuki gerbang rumah Degra.

"Kau tidak boleh masuk!" ucapnya dan tidak sengaja mendorongku karena di sana sangat penuh oleh banyak orang.

Sepertinya aku tidak bisa mengajak Degra ke Taman Hiburan hari ini. Maafkan saya, Ayahnya Degra.

Batinku.

Keesokan harinya aku kembali ke rumah Degra.

Masih saja ramai, tetapi tidak seramai kemarin.

Aku melebarkan kedua telapak tanganku.

Tiba-tiba turun hujan, aku segera berlari ke bawah pohon di dekat rumah Degra.

Aku melihat orang-orang yang memakai payung keluar dari rumah Degra.

"Kasihan sekali anak yang berdiri di depan gerbang itu,"

"Dia juga anak dari almarhum kan?"

"Malang sekali. Dia ditinggal oleh Ayahnya dan Ibunya juga depresi karena ditinggal tiba-tiba. Adiknya juga masih sangat kecil,"

"Dari kemarin dia juga tidak menangis. Dia seperti tidak sadarkan diri, dari tadi hanya berdiri di sana dengan tatapan kosong,"

Aku mendengar percakapan mereka.

Aku melihat ke arah gerbang.

Deg!

Itu Degra. Berarti yang meninggal itu Ayah Degra?

Aku segera berlari menemui Degra.

"Kau tak apa? Mengapa kau tidak menangis?" tanyaku.

Diam. Tidak ada jawaban.

Aku langsung memeluk Degra di bawah rinangnya hujan. Aku menepuk-nepuk pundak Degra.

"Menangislah," ucapku yang juga terguyur basahnya hujan.

Dingin.

"Suatu saat nanti dingin hujan akan berganti jadi hangat air mata. Jadi, tak apa jika kau meneteskannya. Hujan ini kan terlewati," ucapku.

Degra langsung menangis keras di bahuku.

Sepertinya ini juga bukan hari yang tepat untuk mengajak Degra ke Taman Hiburan.

Batinku.

12 Mei 2015

Hari ini aku akan mengajak Degra ke Taman Hiburan.

"Degra," panggilku sambil mengetuk pintu rumah Degra.

"Kau siapa?" tanya seseorang yang sepertinya tetangga Degra.

"Saya temannya Degra," jawabku.

"Degra sudah pindah tadi, pagi-pagi sekali," ucapnya.

"Eh?! Ibu tau dia pindah kemana?" tanyaku.

Ibu itu hanya menggelengkan kepalanya.

Flashback off

"Benarkah!" ucap Degra yang sepertinya kaget.

"Kau sudah pindah, padahal aku belum memenuhi janji Ayahmu. Jahat sekali," ucap Micha yang masih memejamkan mata.

Hening.

"Selamat ulang tahun yang ke 17 ya Degra!" ucap Micha.

"Aku ingin mengatakan sesuatu," ucap Micha.

"Apa?" tanya Degra.

"Aku menyukaimu," gumam Micha yang masih dapat terdengar oleh Degra karena ia menyandar di bahu Degra.

Degra menoleh ke arah Micha, kemudian tersenyum.

"Aku juga menyukaimu," jawab Degra.

"Degra," panggil Micha.

"Hm?" jawab Degra.

"Ada satu hal lagi yang ingin aku katakan," ucap Micha.

"Apa?" jawab Degra.

"Jangan pernah membenci hari ulang tahunmu," ucap Micha dengan deru napas yang masih terasa di bahu Degra.

Bahu Degra basah.

Micha menangis.

Tidak bersuara.

Hanya seperti isakan-isakan yang sudah ia tahan sangat lama.

Sangat sebentar, setelah itu Micha terdiam.

Dan deru napas yang dirasakan di bahu Degra pun menghilang.

Bersambung

HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang