satu enam

29 3 2
                                    

Suasana hening. Dalam sebuah ruang yang lumayan luas, hanya ada Micha dan Degra. Pewangi ruangan yang tiba-tiba menyemprot, membuat Micha batuk karena harumnya yang terlalu tajam. Setelah selesai menutup mulutnya karena batuk, Micha menatap Degra sedikit tajam.

"Kau tahu aku di sini dari siapa?" tanya Micha.

Degra yang sedang duduk di sebuah kursi yang tidak menghadap ke arah Micha lalu melirik Micha dan memutar bola matanya.

"Kau marah?" tanya Micha.

Tidak ada jawaban.

"Kau tidak lapar?" tanya Micha.

Tidak ada jawaban.

"KALAU KAU TIDAK MENJAWAB PERTANYAANKU, LEBIH BAIK ENYAHLAH DARI SINI!" ucap Micha sambil menggertakkan giginya dengan mata berapi-api dan mengeluarkan uap panas dari ujung kepalanya.

"IYA IYA. Aku akan menjawab pertanyaanmu," jawab Degra akhirnya.

"Mengapa kau terlalu banyak bertanya? Terlihat kolot, seperti orang yang sudah tua," ucap Degra.

"Hehe, mungkin efek akan menghadapi kematian membuat orang lebih dewasa ya?" ucap Micha sambil terkekeh. Degra memandang dengan tatapan aneh.

"Jangan memandangku dengan tatapan itu, aku tidak akan mati begitu saja," ucap Micha.

Degra menghela napas.

"Kau mau makan sesuatu?" tanya Micha.

"Iyaaa. Tapi makan apa?" tanya Degra.

"Aku bawa ini," ucap Micha sambil membawa satu kantong besar plastik berisi roti.

Degra hendak mengambil roti, tetapi kemudian tangannya ditepis oleh Micha.

"Jangan makan di sini. Aku bosan. Ayo keluar!" pinta Micha.

-hujan-

Micha dan Degra menaiki sebuah tangga di dalam rumah sakit yang menuju ke rooftop.

Micha menaiki tangga sambil berlarian kecil dan bersenandung.

"Maaf," ucap Degra.

Micha pun menoleh dan menghentikan langkahnya.

"Maaf kalau aku tak percaya kepadamu. Aku malah lebih percaya kepada Rain," ucap Degra lagi.

Micha terkekeh.

"Aku tidak akan marah padamu. Lagian kan Rain memang handal memasang muka," jawab Micha tertawa.

Dasar, hal yang bahkan tidak pantas menjadi lelucon terlihat menyenangkan jika dia yang mengatakannya.

Batin Degra.

Micha kembali berlarian kecil dan bersenandung. Langkahnya terlihat gontai dan badannya terlihat begitu rapuh.

"Mau kugendong?" tawar Degra.

Micha memandang Degra dengan tatapan aneh.

"Jangan menatapku seperti itu! Aku tidak bermaksud apa-apa," ucap Degra sebal.

Micha tertawa.

"Aku kan bercanda. Wajahmu lucu juga kalau dibohongi," ucap Micha sambil tertawa.

-hujan-

Kini Micha dan Degra telah sampai di rooftop. Angin sore hari yang berhembus membuat rambut Micha yang digerai sedikit bergoyang. Selimut-semilut yang dijemur pun ikut bergoyang mengikuti arah hembusan angin. Langit biru yang sudah mulai berubah menjadi merah.
Micha berjalan menuju kursi yang sedikit rapuh termakan waktu.

"Tempat rahasiaku," ucap Micha sambil mengelus kursi itu.

Flashback on

Aku membuka mataku yang sudah tidak terasa berat. Seseorang menggendongku sambil berlari.

Saga?!

Teriakku dalam hati.

Mataku tertutup lagi.

-hujan-

Saat aku membuka mataku, aku berada di rumah sakit.

"Kau tidak apa-apa?" tanya Saga.

Aku hanya mengangguk.

"Terima kasih," ucapku samar.

Saga mengangguk senang.

"Kau sudah tertidur lebih dari 3 jam," ucap Saga.

Aku melihat jam dinding. Pukul 18.30.

"Heh?! Ini sudah malam, pulang sana!" teriakku.

"Setidaknya aku harus di sini sampai kau benar-benar baikan," ucap Saga.

"Aku sudah tidak apa-apa, sana pulang! Nanti kau dicari orang tuamu," jawabku.

"Orang tuaku tidak di rumah. Mereka juga tidak akan mencariku," ucap Saga polos.

"Maaf," ucapku sambil menggigit bibir bawahku.

Aku bangun dari tempat tidur. Lalu aku menarik Saga dan mendorongnya keluar.

"Sana pulang! Aku janji besok aku akan berangkat sekolah," ucapku.

"Janji?" tanya Saga.

"Janji!" ucapku sambil melingkarkan jari kelingkingku kepadanya.

Saga pun keluar dari kamar itu. Aku mendengus lega.

"Aku haus," gumamku. Aku keluar untuk mencari minum. Aku mengambil minuman dari mesin penjual minuman otomatis. Tiba-tiba aku mendengar suara dua orang bertengkar. Ternyata mereka adalah orang tuaku

"Aku sudah tidak sanggup lagi hidup denganmu! Mengapa kamu membuat anakmu mengidap penyakit seperti itu? Aku akan pergi."

"Ya sudah terserah kau! Aku akan merawatnya dengan baik selagi tidak ada kau. Supaya dihidupnya hanya aku yang diingat baik olehnya."

Aku sakit?

Batinku.

Minuman yang aku pegang terjatuh. Aku berlari asal menuju tempat yang sepi.

Kini aku telah sampai di rooftop. Angin sore hari yang berhembus membuat rambutku yang digerai sedikit bergoyang. Selimut-semilut yang dijemur pun ikut bergoyang mengikuti arah hembusan angin. Langit biru yang sudah mulai berubah menjadi merah. Aku menemukan sebuah kursi yang mungkin baru saja diletakkan, terlihat dari bau cat yang sedikit menyengat. Aku duduk di kursi itu.

Tiba-tiba air mataku jatuh satu persatu. Aku tidak bisa menyalahkan siapa-siapa.

Tiba-tiba ada seorang pria paruh baya mendekatiku. Dia mengelus rambutku dan mulai menghiburku.

Flashback off

Bersambung

HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang