1. Raifyta Aurelia Hariawan (telah ganti pov)

15.5K 490 7
                                    

"Sedang apa?" Ify yang baru saja menyelesaikan aktivitas pada kopernya menoleh. Didapatinya sang saudara perempuan berdiri menjulang dengan tangan terlipat di depan dada. Berusaha tak peduli, ia fokus memasukkan baju-baju yang terlipat rapi ke dalam koper.

"Sedang apa?" Shilla mencoba mengulang pertanyaannya.

"Kakak lihat sendiri, 'kan?"

"Buat apa baju-baju itu?"

"Aku harus kembali ke Jogja besok pagi, pekerjaanku harus segera ku selesaikan."

Ify kembali memasukkan barang-barang yang dibawa kemaren, baru sehari di Jakarta, kumpul bersama keluarga. Namun, pekerjaannya di kota tetangga meronta minta dimanja. Kurang memang, apalah daya.

Shilla menghela, adiknya memang sulit dilunakkan jika sudah memiliki keputusan. Keras kepala.

"Kamu baru sehari di sini."

"Ya, aku tahu."

"Berangkatlah besok."

"Tidak bisa, Kak. Aku sudah terlanjur pesan tiket." Ify menatap sebentar, baru memulai menata baju-bajunya lagi. Jangan harap ia mau menuruti permintaan kakak perempuannya itu.

Shilla membalikkan badan sang adik, menyentuh bahunya. Tingginya mereka yang sama membuat Shilla mudah untuk menatap mata Ify, berusaha menggoyahkan egonya.

"Ck, tidakkah kamu kasihan pada Ido? dia rindu kamu, masih ingin main dengan bundanya."

Ify memejamkan mata, ia masih ingin, ingin sekali. Andai pekerjaannya bisa diwakilkan, tentu ia akan memilih tinggal. Menghabiskan waktu bersama keluarganya.

Menjadi pimpinan perusahaan tidaklah mudah, apalagi di umurnya yang masih muda, baru menyelesaikan pendidikan sarjana dua tahun lalu. Sulit sekali untuknya mengatur waktu. Ia masih butuh adaptasi lebih, meskipun Ify pemimpin perusahaan milik ayahnya, ia masih sungkan jika harus menyuruh bawahannya, yang kemungkinan lebih memiliki pengalaman bekerja.

"Maaf, Kak. Aku bener-bener harus kembali. Ada pertemuan dengan klien penting."

"Terserah kamu! Jangan menyesal jika Ido ngambek dan tidak mau makan seharian."

Wanita dua tahun di atasnya itu berlalu, meninggalkan Ify yang kembali berkutat dengan kopernya. Berusaha mengabaikan ucapan Shilla, ia tahu Ido anak yang pintar, tentu akan mengerti kondisi sang bunda.

Raifyta Aulia Hariawan, putri bungsu keluarga Hariawan. Usianya menginjak dua puluh tiga, dua bulan yang lalu. Badan tegap, tinggi tanpa lemak di perut, dagu ataupun pahanya. Tentu tak banyak yang menyangka jika wanita ini pernah melahirkan sebelumnya.

Hamil, melahirkan? Ify kembali sesak mengingat masa itu. Masa di mana menjadi bagian terberat dalam hidupnya. Menjadi gosip memalukan untuk keluarganya.

Tak ada yang ingin menjadi dirinya, diperkosa kemudian hamil, menjadi gunjingan sana-sini karena perut besarnya, janinnya yang tumbuh tanpa sosok seorang ayah.

Wajahnya terlihat murung, ia menghapus air mata yang keluar ketika mengingat peristiwa menyakitkan itu. Tak ada gunanya mengingat yang sudah terjadi. Toh Ify sudah ikhlas, apalagi anak yang lahir dari rahimnya tumbuh sangat tampan dan pintar. Kehadiran Ido tentu membuat warna tersendiri bagi keluarga Hariawan.

Tok ... tok ... tok ....

Suara ketukan pintu membuat Ify buru-buru mengubah mimik mukanya. Dengan senang hati, ia menyambut sang putra yang kepalanya menyembul di balik daun pintu. Mata pria kecil itu berbinar kala mengetahui keberadaan bundanya.

Dengan senang hati ia masuk kala
Ify menyuruh putranya mendekat, Ido memasrahkan tubuhnya di atas pangkuan sang bunda yang duduk di pinggir ranjang.

"Bunda," Ido mengalungkan tangannya pada leher Ify, ia rebahkan kepala, bersandar manja di pundak sang bunda.

"Sayang, kenapa?" Ify bertanya seraya mengusap lembut pipi Revido Ryansyah Hariawan, putranya yang lahir setelah peristiwa itu, buah hati yang tumbuh dalam kesakitan.

Koper milik Ify sudah memberi pertanda kepada Ido jika bundanya akan kembali ke tempat kerja.

"Bunda mau balik kerja? Ido mau ikut."

"Belum bisa, Nak. Nanti, ya, kalo Ido udah SD Bunda janji bawa Ido ke sana. Sekarang Ido belajar dulu yang rajin di sini sama papa Cakka dan mama Shilla. Kalo Ido ikut ke sana siapa yang jagain opa nanti?"

Ify mencoba memberi pengertian, Ido masih terlalu kecil untuk ikut bersamanya yang tinggal sendiri. Setidaknya jika di sini masih ada kakaknya dengan sang suami yang menjaga sang putra.

"Yaudah Ido di sini aja, tapi Bunda harus sering pulang, ya?"

Ify mengangguk tak ingin membuat sinar harapan di mata Ido berubah kecewa. Hatinya menghangat kala anak yang duduk di pangkuannya kini bersorak riang, menghadiahinya dengan kecupan di pipi.

Biologi's FatherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang