4.Pertemuan

7.4K 383 7
                                    

Rapat kali ini entah mengapa membuat Ify begitu bersemangat. Tak biasanya, mungkin karena pertemuan dengan salah satu perusahaan terbesar di Asia, Alexander Group, ah Ify tidak akan mungkin menyia-nyiakan kesempatan ini, ini adalah harapan untuk bekerja sama dengan mereka dan membuat perusahaan semakin maju sesuai mimpi sang ayah. Dulu Ify lah yang menjadi tempat curhat ayahnya, bagaimana bisa menjadi seorang pengusaha yang bisa dikatakan sukses. Lika-liku yang dijalani sang ayah diceritakan semua kepada Ify. Itulah yang membuatnya bersemangat. Kini ia tinggal menjalankan, dan mengembangkan. Berbeda dengan ayahnya yang harus memulai dari titik nol. Tentu itu sangat berat.

Namun, sepertinya nasib beruntung sedang tidak berpihak padanya. Tepat di belokan menuju ruang pertemuan, Ify jatuh terduduk menabrak salah satu karyawan yang membawa map-map berisi perlengkapan meeting. Tangannya segera membantu memungut kertas-kertas yang berserakan. Bukan salah pegawainya, ini tidak disengaja.

Tepat saat menumpuk kertas-kertas itu tanpa sadar matanya membaca kata-kata yang tertulis pada salah satu lembar kertas.

Pemimpin rapat pertemuan Mario Alexander.

Itulah kiranya yang mampu ditangkap oleh wanita anak pemilik perusahaan itu.

Mario Alexander, nama itu berulang kali terekam dalam ingatannya, bergumam terus di dalam hatinya.

"Maaf , Bu, ini berkasnya bisa saya ambil?"

Suara pegawai Ify menyadarkan dari, dengan gemetar tangannya menyerahkan kertas itu.

"Saya permisi, Bu." Dia berlalu pergi, dan bosnya masih mematung saja di tempat. Mario Alexander, sekiranya nama itulah tang terus terngiang dalam benaknya, entah sejak berapa menit yang lalu, kini luka yang berusaha ia tanam di dasar hati kembali muncul di permukaan.

"Kenapa harus pria brengsek itu Tuhan," ucap batin Ify sendu,  melangkah dengan tatapan kosong juga rasa cemas ketika menuju ruang kerja, berulang kali berpikir nama itu,  berharap jika mereka bukan orang yang sama. Ify masih terus berpikir, menghembuskan napas berat berulang, siap dengan kemungkinan terburuk hari ini. Tanpa sadar ia telah melewatkan lima belas menit berharganya hanya untuk merenung dengan cemas.

Sivia datang, menyerunya untuk segera masuk dalam ruang pertemuan guna menyambut para petinggi perusahaan Alexander. Perusahaan yang berpusat di Amerika tersebut dan telah menjadi incaran perusahaan lain untuk bekerja sama dengan mereka, membuat Ify yang paling bersemangat untuk mengajukan kerja sama. Saat pernyataan itu disetujui, masihkan ia yakin untuk mengecewakan. Kesempatan tidak datang dua kali, Ify tidak akan menyia-nyiakannya. Dengan mengembuskan nafas panjang sekali, Ify memasuki ruang meeting, ia siap bahkan terlampau siap.

Para petinggi Alexander Group telah datang, memasuki ruangan pertemuan ruang meeting di cabang Hariawan. Kenapa di cabang? Karena Cakka tak akan bisa menghandlenya. Lagi pula, Ifylah pemimpin yang sesungguhnya. Cakka hanya bertugas membantu adik iparnya itu. Sudah seharusnya pertemuan ini dipimpin oleh Ify, sesekali Cakka akan ikut turun tangan jika Ify merasa kesulitan.

"Fy, dia ...."

Ify hanya mengangguk membenarkan ucapan Sivia seraya tersenyum, memegang lengan seseorang yang telah dianggapnya sebagai seorang kakak itu. Ify tahu kegelisahan Sivia. Namun, kegelisahan yang dirasakan sekretarisnya itu tak akan lebih dari kegelisahan yang dirasakan Ify sekarang.

"Kamu yakin?"

Yakin? Ntahlah, pertanyaan itu seolah hanya menari-nari dalam benak, ilusi semata. Yakin tidak yakin segalanya sudah terjadi, demi ayah, begitulah hati Ify menyemangati.

"Apa batal saja?"

Ify terkekeh pelan, tak menganggap serius ucapan asal Sivia. Bagaimana bisa? Keputusan sudah disetujui mereka. Di dalamnya sudah tertera denda yang cukup lumayan besar. Harga diri perusahaan pun dipertaruhkan di sini. Tak mungkin Ify menghancurkan perusahaan hanya karena masalah pribadi.

"Don't worry, sister, I'm fine"

Ify menepuk bahu Sivia, Meskipun hatinya sendiri merasa tidak yakin. Kenapa harus begini? Mungkin ini salah satu ujian yang harus ia hadapi. Tak mengapa, Ify tersenyum lagi, menguatkan diri meski rasanya ingin pulang saja bergelung dengan selimut dan menangis di sana.

Biologi's FatherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang