Ido mulai menerima beberapa suap makanan. Meski belum bisa banyak bergerak, tetapi progress kesembuhan anak itu terbilang cukup cepat. Shilla masih setia berada di Jogjakarta karena sang adik belum bisa beraktivitas berat. Sementara Mario masih harus mengurus perusahaan mereka.
Ify dengan setia duduk di kursi samping brangkar putranya, mengelus rambut Ido penuh sayang. Sementara sang kakak sedang mengurus obat Ido di apotek.
Sudah hampir seminggu lamanya bocah ini kehilangan tawa, malam-malam hanya rintihan yang mengiris hati orang tuanya.
"Kalo udah sembuh kita liburan. Makanya cepat sembuh," tutur Ify kala Ido merengek ingin segera pulang. Rumah sakit bau obat katanya. Banyak hantu juga, dasar!
"Ido gak betah, Bunda. Ayo pulang ...."
Ify memilih merebahkan kepalanya dan memejamkan mata, pura-pura tidur.
Bocah lima tahun itu masih setia merengek dan menggerakkan tangannya untuk membangunkan sang ibu. Sampai suara pintu terbuka, menampilkan Mario yang masih menggunakan setelan kantor. Wajahnya tampak lelah, tetapi senyum tak luntur ia berikan kepada kedua orang berharganya.
Lepas mengecup kening wanita cantik yang masih memejamkan mata, ia memberikan usapan lembut di kepala bocah yang tak mau dicium itu. Geli katanya.
"Ayah, mau pulang." Anaknya mulai merengek, menampilkan puppy eyes yang mirip sekali dengan sang ibu.
"Sembuh dulu." Ia memberi penawaran.
"Udah sembuh, Ayah. Ayok pulang!"
Tangannya yang bebas dari infus menarik kemeja Mario. Tak putus asa, Ido menarik dengan tenaga yang cukup kencang. Keinginannya harus dituruti.
Kemeja yang digunakan Mario kusut dalam genggaman anaknya. Sang Penganut kerapian itu tentunya tak bisa berkutik karena ini ulah putranya sendiri. Rasa sebal yang ia tahan keluar lewat saluran pernapasannya.
"Sayang." Genggaman itu terlepas, wanitanya kembali turun tangan. Meraih tangan kiri Ido yang terbebas dari infus.
"Nggak boleh gini, jadi anak yang baik. Ido sudah janji sama Bunda untuk jadi anak baik kan?" Lanjutnya seraya merapikan rambut anaknya yang terasa lepek. Hampir dua Minggu tak tersentuh air.
"Bunda sedih kalo Ido nggak nurut begini. Ido mending ikut pulang Mama Shilla sama Papa Cakka aja."
Ido mencebik, menenggelamkan wajah pada perut Rio.
"Nggak mau, mau sama Bunda sama Ayah." Sang bocah mulai luluh.
Mario mengedipkan satu matanya ke arah sang istri. Genit! Begitulah arti tatapan hasil balasan dari kedipannya.
"Makanya cepat sembuh, kalo Ido udah sembuh kita pulang." Anggukan dari kepala sang anak membuat Mario tak tahan untuk mendaratkan satu kecupan di sana.
"Bau Asem."
"Ido kan nggak mandi, Ayah!"
***
Shilla dan Cakka baru saja pamit untuk pulang ke Jakarta beberapa waktu lalu. Mereka tidak bisa meninggalkan sang ayah yang mulai sedikit ngeyel untuk sembuh sekarang. Apalagi hanya bersama suster, orang tua itu akan sangat merepotkan jika tidak bersama anaknya sendiri.
Sementara Ido asyik dengan mainan robot yang ada di genggamannya. Infus telah dicopot kemarin sebelum ia merengek pulang. Anak ini begitu aktif, hingga was-was ada darah yang naik ke selang, beruntung tak ada yang serius kecuali tulang kakinya yang patah, maka dilepaskan infus tersebut. Membuat ruang gerak Ido semakin luas.

KAMU SEDANG MEMBACA
Biologi's Father
RomanceMASA PERALIHAN SUDUT PANDANG. JADI JANGAN HERAN KALO POVNYA ACAKADUL. BACA SILAHKAN! YANG GAK MAU BACA YOWESS TIDAK MEMAKSA. Lima tahun Ify hadapi penderitaannya seorang diri. Hingga kemudian, seseorang pembawa penderitaan baginya hadir tanpa meras...