11. berbeda

3.4K 298 76
                                        

SIAPKAN JEMPOL UNTUK PART INI. VOTE NYA DI PENCET DULU YA...

YANG NUNGGUIN COBA ANGKAT KAKI???!!!!!

.......

Ify telah kembali ke rutinitasnya setelah seminggu menghabiskan waktu bersama keluarga di Jakarta. Pekerjaan di Jogja telah menantinya, terutama sang sekretaris yang menggerutu. Apalagi setelah ia memutuskan kerja sama dengan Alexander corp. Perusahaan itu tak ada hentinya meneror. Hingga ia harus mengeluarkan banyak sekali uang. Demi tidak berurusan lagi dengan Mario.

Shilla masih mencurigainya. Kakaknya itu marah tatkala mengetahui ia berhubungan dengan orang yang telah menghancurkan hidup mereka. Maka dari itu, ia lebih baik rugi daripada harus mengecewakan semua orang.

Tiba di depan ruangannya ia disambut Sivia dengan wajah sendu, wanita hamil itu memeluknya. Kemudian mengeluarkan tangis yang membuat Ify bingung.

"Aku udah gak mau berurusan sama Mario, Fy. Aku lelah. Dia benar-benar tidak punya nurani."

"Kenapa menangis, kak?"

"Kita rugi bermilyar-milyar, Fy. Dan perusahaan ini diancam akan dihancurkan oleh pihak Alexander corp jika kita tidak menuruti kemauan mereka."

Ify menghela, ia sudah mengira kalau kejadiannya akan seperti ini. Saat pria itu datang, maka masalah juga akan mengikuti.

Tangannya terulur mengelus punggung Sivia. Harusnya dia yang ditenangkan. Namun, nyatanya dia yang berbalik menenangkan wanita hamil ini.

"Gak papa, kak. Kita bisa cari jalan keluarnya."

"Jalan keluarnya hanya bisa jika kamu mau menerima Mario, Fy. Dan aku gak mau kamu melakukan itu."

"Gak, aku yakin ada cara yang lain."

Ify berusaha meyakinkan pikirannya. Semua akan baik-baik saja. Ia yakin. Ini hanya sebuah ujian untuknya, agar lebih kuat lagi.

"Kita bisa."

_

_
_
_

"Mana bosmu?" Sivia hampir saja menjatuhkan Handphone digenggamannya tatkala melihat wajah Mario berdiri menjulang di depan meja sekretaris.

"Maaf, Mr. Bu Raifyta sedang tidak bisa diganggu."

Rio berdecih.

"Trus aku peduli?" Sivia hendak mencegah, namun langkah pemuda itu sudah terlalu cepat dan berhasil masuk ke ruang kerja Ify. Tidak ada cara lain selain menghubungi security.

Sementara, di ruang kerja Ify wanita itu nampak terkejut dengan kehadiran pria yang tak ingin ditemuinya. Ia beranjak dari kursi kebesarannya, menatap berang ke arah Mario.

"Aku ingin mengajakmu makan siang."

"Saya sibuk, dan anda bisa keluar sekarang!" pungkasnya tajam, ia tak ingin lagi berurusan dengan pria ini. Sungguh. Melihat tatapan terluka dan kecewa keluarganya saja sudah membuatnya tak sanggup untuk berpikir.

"Ayolah, Hon. Aku rindu kamu, ini sudah jam makan siang."

"Aku tidak mau, kurasa kamu tidak tuli!"

"Aku tidak tuli. Tapi aku buta jika menyangkut cintaku padamu."

Ify jijik mendengar penuturan Mario, sangat tidak sesuai dengan penampilannya.

"Kamu membuatku mual," Mario tersenyum usil.

"Apakah adik Ido sudah jadi? Wah padahal kita belum membuatnya. Apa mungkin sisa lima tahun yang lalu?"

"Keluar! Jangan membuatku semakin emosi, Mario!"

Tanpa sadar Ify melempar sebuah alat stempel ke arah pria itu dan berhasil mengenai keningnya, Ify tak sengaja sungguh. Apalagi setelah melihat Mario meringis menahan sakit.

Ia bereaksi. Mengusap dahi Mario, sedikit benjol dan mungkin akan membiru. Mario? Tentu saja senang. Dan melingkarkan tangannya di pinggang Ify dengan erat.

"Makan denganku, atau kita begini terus dan aku tak akan melepasnya."

"Aku tidak mau," Ify berusaha melepaskan diri dari kungkungan tangan besar ini, namun, ia kalah tenaga.

"Kalaupun tidak makan siang, aku malah senang. Aku rindu kamu, Hon."

"Dan aku tidak merindukanmu. Lepas!!" titahnya, namun Mario menggeleng menolaknya.

"Kenapa kamu dulu tidak meminta pertanggung jawaban ku, Hon. Dengan senang hati aku akan menikahimu."

"Aku tidak sudi menikah dengan bajingan," balasnya tajam tak peduli jika ucapan itu telah menggores hati pria yang menatap sendu ke arahnya.

"Apa karena perbedaan itu?"
Ify termangu. Diam tak memberontak lagi. Masa lalu itu begitu menyakitkan. Apalagi sebuah perbedaan yang memisahkan mereka.

Perbedaan? Ya mereka berbeda.

_
_
_

6 years ago...

"Bolehkah ayah meminta?" Aku yang baru duduk di sofa setelah keluar dari kamar menatap ayah menunggu kelanjutan pembicaraan dari orang yang sangat aku sayangi ini. Ayah yang telah membesarkan aku seorang diri selama 5 tahun setelah kepergian ibu. Ayah yang selalu ada untukku dan kakak. Ayah yang menjadi sosok ibu bagi kamu setelah beliau pergi. Ayah yang tahu bagaimana kami harus bahagia. Ayah yang berjuang membangun bisnis keluarga, hingga bisa hidup enak seperti sekarang tanpa kekurangan. Umurku baru 18 tahun dan akan memasuki bangku perkuliahan, aku berniat mengambil jurusan bisnis, ingin membantu ayah mengurusi perusahaan.

"Tolong akhiri hubunganmu dengan Mario,"

Aku menghela napas. Mario adalah pacarku, setahun lalu kami jadian. Dia adalah anak seoarang pebisnis sama sepertiku. Namun, dia selalu menutupi siapa kedua orangtuanya bahkan ke aku sendiri.

"Kalian berbeda, nak. Apalagi ini tentang tuhan. Selagi rasa itu belum terlalu besar. Akhiri hubungan kalian. Ayah tidak mau kamu menjadi penghianat di agamamu yang sudah kamu anut sejak lahir. Begitu pun Mario, belum tentu dia mau menjadi seorang muslim apalagi dengan kedua orang tuanya pasti mereka tidak akan setuju. Ayah tidak mau kamu mendapat masalah."

Ya, perbedaan yang begitu mencolok bagi kami, ayah benar seharusnya kami tidak memulai hubungan ini. Sangat sulit apalagi dengan perbedaan keyakinan.

"Jika itu yang terbaik, mengapa tidak, ayah."

"Terimakasih sudah mengerti. Ucapkan permintaan maaf ayah padanya."

_
_
_

"Kenapa harus putus? Aku tidak mau? Aku akan masuk islam, Sayang. Aku mau," Mario memohon dengan muka yang sulit untuk aku tolak.

"Ini yang terbaik. Orang tuamu belum tentu setuju."

"Aku Mario. Siapapun harus tahu siapa aku, Ify."

"Jangan begini, Mario. Kita akhiri saja."

"Aku cinta kamu, dan aku tidak main-main."

Aku beranjak mungkin dengan aku menghindarinya dia akan menerima semua ini.

Namun, baru beberapa langkah aku keluar kafe tempat kami bertemu. Rio sudah menggendongku membawanya menuju mobilnya.

"Mungkin hanya dengan cara ini aku bisa memiliki kamu," ucapnya terdengar seram di telinga. Aku berontak namun, kalah tenaga.

Dia membawa mobil bak orang kesetanan. Wajahnya mengeras tanda sedang menahan emosi, dapat kulihat jari-jarinya mencengkram erat kemudi mobil.

"Berhenti, Mario. Aku ingin pulang."

"Diam!" bentaknya tak terbantahkan. Aku takut sungguh. Hingga mobilnya berhenti tepat di rumah mewah milik keluarganya, tak ada siapapun. Mario menggendongku menuju sebuah kamar, di mana malam ini aku kehilangan kesucianku. Dan aku membencinya.

Awokwok jangan lupa jempolnya untuk part ini hihi....

Biologi's FatherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang