22. Sad

2.6K 209 18
                                    

"Sayang."

Ify yang terduduk merenung di atas bangsal tersentak. Dirinya baru saja bangun dari ketidak sadaran satu jam yang lalu. Tidak ada siapa pun yang dapat ia jumpai, selain suster dan dokter yang menanganinya. Memberi kekuatan dan kesabaran atas kehilangan calon buah hati.

Saat menolehkan wajah, ia melihat sang suami berjalan dengan lesu, raut muka pucat tak dapat tersembunyi di wajah yang berusaha tersenyum itu.

Mata Ify memanas, sedari tadi hatinya gelisah, tetapi buta arah. Memikirkan nasib Ido.

"Kak." Ify memejamkan mata, menikmati belaian tangan Mario di kedua pipinya. Telapak tangan yang terasa hangat, telapak tangan yang selalu membuat Ify merindukan sentuhannya.

"Aku senang kamu udah sadar," ujar Mario menatap manik mata Ify yang mulai terbuka. Menumpahkan kerinduan pada istrinya.

"Ido ...." Ify menggantungkan kalimatnya, melihat mata Mario memerah, dapat ia rasakan kepedihan sang suami saat ini.

"Ido udah sadar tadi, tetapi ia nangis terus, cari bundanya. Ia mengaduh karena badannya sakit. Aku gak tega, Fy. Sampai akhirnya dokter kasih dia pereda nyeri. Aku ngerasa aku gagal jadi seorang kepala rumah tangga. Baru sebulan kita nikah, tapi kalian udah celaka. Kita kehilangan adik, dan hampir kehilangan Ido. Aku ... aku ...."

Ify membungkam mulut Mario dengan jari telunjuknya, membenamkan wajah di perut sang suami. Mencari ketenangan dengan memeluk erat tubuh pria itu.

"Aku juga gagal, aku gak pecus jadi ibu. Kita sama-sama gagal, Kak. Sekarang mau bagaimana lagi? Semuanya udah terjadi, kita harus perbaiki yang udah rusak ini, aku gagal, kamu juga gagal, bukankah itu sangat serasi."

Mario balas memeluk Ify, ini yang ia butuhkan sedari tadi. Sebuah kekuatan lewat wanitanya, suara menenangkan Ify untuknya.

"Aku butuh kamu," ucapnya lirih. Semakin ia rasakan pelukan hangat Ify, tangan kanan istrinya melingkar erat.

"Kita saling membutuhkan."

***

"Mama." Ido merintih lirih dengan usapan Shilla yang tiada berhenti pada puncak kepalanya.

Mata Shilla tak berhenti mengeluarkan air sedari tadi, tak tega dengan kesakitan yang Ido katakan.

"Bunda, sakit." Kini giliran bunda yang ia keluarkan. Membuat Shilla semakin tak tega, bahkan Cakka keluar sampai keluar ruangan. Hatinya bergetar melihat keadaan sang keponakan.

"Sakit, kaki Ido sakit, badan Ido sakit." Mata itu terpejam, tetapi rintihan tak berhenti sedikit pun. Raut muka Ido jelas nampak tersiksa dengan kesakitan yang menyerangnya. Ketahuilah, Ido anak umur lima tahun, bagaimana bisa menahan rasa sakit akibat tertabrak mobil?

"Ido, sabar, ya, Nak. Ini mama."

Shilla menghentikan usapannya, beralih menggenggam tangan Ido yang tidak tertempel infus. Menyentuhnya dengan hati-hati.

"Sakit, Mama. Kaki Ido sakit, badan Ido sakit, Ma. Bunda ... hiks, sakit Bunda."

Dokter sedikit menghentikan penggunaan pereda nyeri pada Ido, ia takut anak kecil ini overdosis dengan obat tersebut. Maka tak heran jika sekarang Ido merasakan kesakitan.

"Sabar, ya, Sayang."

Shilla keluar dari ruang perawatan sang putra. Ia menemukan Cakka yang terduduk lesu di kursi tunggu, memilih untuk mendaratkan pantat di samping suaminya.

Biologi's FatherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang