10. Bersama Tuan Pemaksa

4.1K 292 25
                                    

yang udah follow gak perlu vote
Kalau belum follow harus vote
Yang follow dan vote kalian top bgt
Wkwkwk gak ah becanda ya.. kalian baca aku udah seneng banget apalagi koment, vote dan follow serasa gimana gitu. Terimakasih hehe

Dalam hati aku rasanya sudah ingin menangis saja, dengan Ido yang tak ada hentinya merengek dalam pelukanku. Dia takut, badannya bergetar, merasa sedang diculik oleh om yang sedang menyetir. Ayah kandungnya sendiri.

Aku menyerah. Akhirnya membuka suara.

"Sayang, udah gak papa, om ini teman Bunda kok,"

"Hon,"

Mataku melotot tajam, akhirnya membuatnya urung melepas suara.

"Oke, jangan melotot gitu bisa-bisa aku khilaf."

Aku tak menghiraukan, berusaha kembali menenangkan Ido yang sulit untuk percaya.

"Om mau culik kita, Bunda. Biar bisa ambil mama,"

"Nggak, kata siapa? Omnya baik kok mau antar kita pulang. Soalnya pak supir gak bisa jemput,"

Mata bulat itu menatapku meminta penjelasan, dan aku balas dengan sorot mata penuh keyakinan. Sampai suara pria yang tak ingin kusebutkan namanya menginterupsi.

"Iya, Ayah gak jadi ambil mama Ido. Tapi, akan jadi Ayah Ido,"

Aku melotot tak suka.

"Jangan percaya!"

Ido menatap kami secara bergantian.

"Ayah?"

"Karena, Ido udah punya papa. Jadi sekarang aku jadi ayah saja."

"Kenapa harus ayah?"

"Kan pasangan bunda itu ayah,"

"Jadi Om mau jadi pasangan bunda?"

Aku hanya mendengus mendengar percakapan absurd ini, rasanya ingin berhenti dan naik angkutan umum saja. Tapi, beruntung Ido sudah tidak menunjukkan rasa takutnya.

Perjalanan kami diisi oleh percakapan ayah dan anak yang berada di sampingku.

"Kalo Om ayah Ido. Berati tahu ulang tahun Ido kapan dong?"

Mario terdiam mencoba mengingat.

"Ayah lupa,"

"Anaknya banyak makanya lupa," sindirku tajam, entah kenapa aku jadi kesal juga mendengarnya.

"Tahu aja sih, Hon. Ia anak aku banyak setelah nanti kamu melahirkan adik-adik Ido,"
Aku memalingkan muka, menghindari tatapan mata centil pria ini.

"Ulang tahun Ido. 2 bulan lagi tanggal 23," lanjutnya membuat Ido melongo, lalu tersenyum cerah.

"Iya, kok om tahu?"

"Panggil ayah dong."

"Ayah," Dan dapat kutangkap senyum cerah menghiasi wajahnya yang tampan. Tampan? Apa aku baru saja memujinya. Tapi ini benar, aku tahu sorot bahagia itu, dulu saat kami masih bersama. Ck! Apa ini? Kenapa aku jadi mengingat masa lalu?!.

Aku memalingkan muka ke arah jendela. Mengamati jalanan yang terasa lengang.

Baru beberapa menit tenang, Mario menghentikan mobilnya di depan sebuah restoran tempat di mana dulu kami sering menghabiskan waktu bersama. Restoran yang menjadi saksi bagaimana dulu aku terjerat pesonanya hingga kami menjadi sepasang kekasih.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Biologi's FatherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang