Part 9 : Aku datang

103 6 0
                                    

Aku melihatnya.
Aku yakin, itu pasti dia.
Kerudung pink itu, motif kerudungnya, cara berudungnya, sama. Sama persis.

Tidakkah dia melihat ke arahku? Dia lebih memilih untuk menikmati keindahan alam air terjun disini. Ya, memang sangat indah. Aku tak dapat menafikinya. Tapi, tidakkah ia tau bahwa aku ada disini? Menanti senyumannya?

"Terus, kalau gitu, sebagai umat terbaik yang disebutkan di QS. Ali Imran: 110 itu kita harus bagaimana?" pertanyaan Didi, tiba-tiba mengalihkan pandanganku dari pandangan Nayra.

Ya, kini, kita sedang tadabbur alam. Dan Mas Rino memilih untuk tadabbur alam di Coban Pitu. Dakwah, sebagai tema kajian kita kali ini. Dengan aku sebagai pematerinya.

Dan.. siapa sangka, bahwa ternyata Nayra dan beberapa temannya juga sedang KKN di Desa Dawetkrajan ini? Bahkan, tak sengaja aku menemuinya saat ia sedang bercerita dengan beberapa anak kecil. Bercerita dengan begitu luwesnya. Lama, lama aku memandanginya. Sempat aku menemuinya diam menatapku, tapi akhirnya aku harus bergegas untuk survei tempat Coban Pitu ini.

"Nah, sebagai umat terbaik, maka kita harus melakukan seperti yang disampaikan di ayat sebelumnya yaitu di QS. Ali Imran 104, dimana dengan menyeru pada yang makruf dan mencegah pada yang munkar. Selain itu, wa tukminunaa billah, dengan beriman kepada Allah, seperti itu," jelasku yang kemudian kembali memandang ke arah Nayra berdiri.

Ma sya Allah..
Dia memandang kesini!
Dia melihatku!
Dia bahkan menatapku!

Sadarkan ia bahwa ini adalah aku?
Senyum Nay, senyum.. sudah lama aku tidak melihat senyumanmu. Tak dapat berbohong, aku benar-benar merindukanmu. Melihatmu seperti ini, seolah membuatku ingin segera bersama. Rasa sesak di dada ini, karena tak dapat segera bersama, membuatku kembali merasa pilu.

Aku harusnya tau, jalanku, jalanmu, belum sempurna. Dan.. biarkan masa depan, yang menyempurnakannya.

"Oke, ada pertanyaan lagi?"
Sehingga kini, yang bisa kulakukan, adalah menunggu. Menunggu hingga waktu yang membuktikannya nanti. Dalam waktu yang mungkin tak dekat ini.

♡♡♡

"Bang, listrik naik lagi ya bulan depan?"

Alisku tertaut. Tersenyum miring dan sekedar mengangguk. Merasa sudah tak kaget dengan fakta hari ini.

Farhan melengos. "Kasihan Mbak Aya, sampai bingung cari kerjaan."

Kali ini aku menoleh. Walau kerjaanku kali ini benar-benar susah dialihkan saat sudah terlanjur fokus.

"Mbak Aya?"

"Iya, dia itu sepupuku, bang. Sama suaminya tuh, sebenernya udah dilarang kerja. Bahkan, anaknya ada yang masih bayi juga. Tapi, akhirnya, Mbak Aya sekarang bingung cari kerjaan yang enak, biar menuhin kebutuhan sehari-hari. Ya, salah satunya akibat listrik yang harganya makin menanjak ini."

"Begitulah keadaan negara hari ini, Han. Perannya, sebagai pengurus umat, penjaga umat, perisai umat, justru hilang. Dan berganti, menjadi pemalak. Semua rakyatnya, dipaksa mengurusi kebutuhan mereka sendiri."

Kulihat, raut muka Farhan semakin lama semakin berubah. "Bahkan, gak berhenti sampai situ juga, rakyat juga diperas, dipaksa untuk melunasi hutang negara yang kian menumpuk. Sadar nggak sadar, negara benar-benar menjadi pemalak."

"Kalau kayak gini terus, mending kita ganti presidennya ya, bang? Pak Soeharto kayaknya enak, tuh, bang," usul Farhan. Perlu kalian tahu, ia adalah Koordinator Creative Director disini. Di perusahaan kami.

Lagi, aku tersenyum miring. "Ibarat sebuah rumah yang udah mau roboh, ganti cat tembok aja nggak cukup buat bikin rumah itu bertahan. Tapi, ganti pondasinya. Dengan kata lain, ganti presiden aja nggak cukup, Han. Tapi, ganti sistemnya sekalian."

Shalihah BersamamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang