Part 18 : Masa Lalu

119 3 2
                                    

Laki-laki itu menyetir mobilnya dengan sedikit gusar. Nampak terlihat dari matanya, yang menunjukkan bahwa pikirannya entah kemana. Pikirannya tak sedang disini. Jadi, jangan kaget saat ia bahkan tak menyadari bahwa lampu lalu lintas itu sudah memperlihatkan hijaunya. Sedangkan dia tak menyadari, hingga menjadikan klakson bunyi dimana-mana.

Rupanya, kejadian tadi pagi membuatnya sedikit kalangkabut. Jelas saja, dulu ia memang tak peduli bagaimana pergaulan. Pacaran, berdua-duaan, bahkan bercampur baur antar laki perempuan. Namun segalanya berubah saat seorang wanita menyadarkan arti Islam kepadanya. Ia jadi mengerti, bahwa Islam bukan sekadar ibadah yang menyangkut diri sendiri saja, melainkan ibadah yang harus diterapkan secara menyeluruh sesuai dengan tuntunan syariat.

Mengatur bagaimana cara bergaul, mengatur bagaimana kita berinteraksi, mengatur bagaimana kita berbakti pada orangtua bahkan mengatur bagaimana kita bernegara, dan masih banyak lagi aturan Islam yang baru diketahuinya sejak ia memutuskan untuk hijrah dan mengkaji Islam lebih dalam.

Namun, masa lalu tetaplah masa lalu. Ia selalu ada. Takkan pernah berubah sekalipun kita telah berubah di masa depannya. Adalah dipertanggungjawabkan, tentang bagaimana kita menyikapinya.

Sehingga, kini, sepertinya ia telah salah menyikapi. Buktinya, dengan mudahnya Dea menganggapnya sama seperti yang dulu. Dea bahkan telah memeluknya. Memegang tangannya!

Astaghfirullah!
Ia jadi teringat akan sabda Rasul. "Sungguh, ditusuk kepala dengan paku panas dari besi itu lebih baik daripada bersentuhan dengan yang bukan mahram/muhrim."

Sedangkan tadi? Dea, memeluknya!
Me-me-luk-nya!
Sungguh kelewat batas. Bagaimana mungkin dia bisa dipeluk wanita yang bukan muhrimnya? Sungguh, setelah mengkaji Islam dulu, dia benar-benar menjaga bagaimana pergaulannya, bagaimana dia berinteraksi. Hanya Nayra, istrinya, yang bisa menyentuhnya sesuka hati sejak diucapnya ijab kabul. Dan.. baru kali ini, dia dipeluk wanita lain. Selain ibunya, adiknya, istrinya.

Jika dulu, dia merasa biasa-biasa saja. Tidak untuk kali ini. Dia sangat merasa terhina. Sangat terhina. Belum lagi, dia membayangkan bagaimana siksanya di neraka nanti hanya karena wanita lain berhasil memeluknya tanpa ijin.

"Argghh.."
Lagi, laki-laki itu mengerang. Mengusap wajahnya kasar. Sungguh, dosanya kali ini, benar-benar tak bisa dimaafkan.

♡♡♡

"Assalamu'alaikum.."

Nayra bergegas berdiri, membuka pintu rumah yang tak jauh darinya. Sedari tadi, ia memang sengaja duduk di ruang tamu sembari membaca majalah kehamilan milik Tante Ria. Sekaligus bisa langsung membuka pintu, saat suaminya sudah tiba nanti.

"Wa'alaikumussalam.." dengan senyum merekah seperti biasa, Nayra menyambut kepulangan suaminya.

"Gimana mas, tadi reuninya? Lancar?" tanyanya lalu menutup pintu.

Bukannya menjawab, namun sosok didepannya kini tak melepaskan tangannya dari kepala. Sembari sedikit memijit-mijit pelipisnya tak terasa pening.

"Mas, capek ya? Pusing? Nayra pijitin sini. Ayo, kita ke kamar. Sekalian istirahat. Nanti malem kan, kita harus ke stasiun," peringat Nayra.

Ferdy menggeleng. "Nggak usah, dek. Kamu lanjutin aja aktivitasmu. Aku bisa istirahat sendiri."

"Mas.." Nayra menahan lengan suaminya, "salah satu kewajiban seorang istri itu, menjadikan rumah sebagai tempat ternyaman untuk suami. Dengan melayani, menyiapkan segala kebutuhannya, termasuk membuatnya tidur nyenyak. Biar aku menjalankan kewajibanku, Mas. Ya?"

Mendalam, Ferdy menatap kedua mata istrinya yang kini menatapnya teduh. Terlihat ketulusan hati yang terpancar dari kecantikannya yang natural.

Yaa Allah, maafkan aku telah melukainya. Aku sungguh telah berusaha menaati perintah-Mu, maafkan aku karena tak lolos dari ujian-Mu. Jika Engkau mau, jangan biarkan ia tahu tentang ketidaklolosanku ini, Yaa Rabb.. jangan biarkan..

Shalihah BersamamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang