Part 20 : Maaf

208 1 0
                                    

"Gimana ceritanya, Nay, sampai kamu belum menceritakan tentang kehamilanmu ke suami kamu sendiri?"

Sudah setengah jam lamanya, Nayra hanya bisa menundukkan kepalanya didepan ayah mertuanya. Pasalnya, mereka tak sengaja bertemu di kamar mandi yang ada di tempat kerja suaminya.

Dan sepertinya, sikapnya kali ini memang benar keterlaluan. Hanya karena cemburu buta, ia dengan tega menyembunyikan berita kehamilannya. Tidak, bukan menyembunyikan. Lebih tepatnya, ia menunda. Menundanya hingga menemukan waktu yang tepat. Menurutnya.

"Apapun alasannya, lebih baik kamu sampaikan ke suami kamu. Bicarakan baik-baik dengan dia. Nggak ada permasalahan yang nggak bisa diselesaikan. Bukankah kamu yakin kalau Islam adalah agama dengan sejuta solusi?"

Nayra kalah telak. Runtuh sudah segala kecohan alasannya. Runtuh sudah egonya. Sepertinya, emosinya sejak hari kehamilan itu susah distabilkan. Sehingga ia sendiri belum bisa mengontrolnya dengan bagaimana yang seharusnya. Ia seolah lupa, bahwa agamanya adalah agama dengan sejuta solusi. Mulai dari bangun tidur sampai masalah masuk ke kamar mandi pun, semua sudah ada aturannya. Tinggal ia sendiri yang mau atau tidak mencarinya.

Ya. Sepertinya dia benar-benar lupa. Pondasi yang selama ini ia bangun kokoh, agar tak mampu terjatuhkan oleh sedikit apapun, sepertinya mulai goyah. Hanya karena adanya calon baru yang tumbuh dalam dirinya.

Padahal, saat seorang wanita mendapatkan amanah ini, hendaknya ia mampu menjaga dan melindungi dalam kondisi apapun. Bahkan, disinilah harusnya peran suami dimunculkan, guna menopang sang diri untuk tetap berdiri dengan keluhan apapun yang terjadi.

Ya Allah.. belum menjadi seorang ibu saja, aku sudah gagal menunjukkan sikap atas kesiapanku untuk mengemban amanah buah hati ini darimu.

Nayra tampaknya makin menunduk lesu. "Sudah, Nay, nggak papa.. Ayah tau yang kamu rasakan. Mama kamu dulu, juga pernah demikian, cemburu buta hanya karena ada pelanggan wanita yang pada kala itu, terpaksa sekali ayah yang harus menemuinya di kantor," ucap Henry bijak yang langsung membuat Nayra spontan mendongakkan kepalanya.

Bukan, bukan karena kaget dengan apa yang dialami bundanya dulu sama dengan dirinya. Tapi, karena ayahnya yang ternyata tau apa permasalahan dirinya yang membuatnya enggan bercerita tentang kehamilannya pada sang suami.

Henry tertawa renyah. "Nggak usah kaget gitu, Nay. Mukamu itu lho. Jadi merah banget. Yaa.. maaf, Ayah nggak sengaja mendengar percakapan kamu tadi dengan dua teman SD Ferdy. Lagipula, Ayah sebenarnya kenal mereka kok. Cuman.. mereka saja yang sepertinya lupa dengan Ayah ya.."

Nayra tersenyum malu. Tertangkap basah sudah, sikap kekanakannya didepan ayah mertuanya. Ampuunn.. malunya dia benar.

"Oh iya, kalau kamu mau shalat dzuhur, shalat buruan gih. Udah jam dua belas. Akhwat yang lain mungkin sekarang udah pada siap-siap shalat juga."

Nayra tersenyum kikuk. "Iya, Yah, Nayra.. ngg.. ke kamar mandi dulu," dengan sedikit tergesa, Nayra ijin diri untuk pergi ke kamar mandi.

Selama perjalanan, Nayra benar-benar tak habis pikir. Kemana dirinya yang dulu? Yang setiap ada sekecil apapun sesuatu yang terjadi, ia selalu cerita pada suaminya. Kemana dirinya yang dulu? Yang selalu mengeluh kesah pada suami tentang apa saja yang ia alami seharian.

Bagaimana mungkin, ia melupakan dirinya yang sesungguhnya, keteteran dengan begitu saja. Hanya karena emosi yang sedang tak stabil ini. Betapa malunya ia. Apalagi saat sudah tertangkap basah oleh ayah mertuanya sendiri. Bisa dianggap istri apa dia ini.

Dengan khidmat, Nayra menikmati basuhan demi basuhan air yang membasahi setiap jengkal anggota wudhunya. Yap, sepertinya wudhunya kali ini makin menambah rasa penyesalannya.

Shalihah BersamamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang