"Pokoknya Mas gak boleh datang!"
"Nay, reuni itu nggak akan campur baur antara laki-laki dan perempuan. Yang nata teknis reuni ini itu si Fian, dia in sya Allah paham kalau di Islam itu tidak boleh campur baur antar laki-laki dan perempuan. Jadi nanti nggak akan ikhtilat, Nay," lagi, Ferdy berusaha menjelaskan pada istrinya yang tiba-tiba ngambek pagi-pagi.
"Ya tapi, tetep aja, Mas. Namanya reuni itu, melepas kerinduan dengan teman-teman sekolah dulu yang pada masa sekolahnya bercandanya nggak mengenal batas-batas pergaulan antar laki-laki dan perempuan, namanya aja Sekolah Negeri, iya kan? Nggak bakalan ada sekolah negeri di negara ini yang memakai hukum syara'," balas Nayra tak kalah panjang lebar.
"Iya, aku ngerti, Nay. Tapi itu kan, mereka. Sedangkan aku? In sya Allah, karena sudah mengkaji Islam, sudah paham Islam, aku nggak akan seperti mereka. Seperti yang kamu maksud tadi."
Nayra menghela nafas pasrah. Mau didebat seperti apapun juga, suaminya ini pasti selalu bisa mencari celah untuk membuatnya seolah tak dapat beralasan lagi. Seolah, kebiasaan keras kepalanya ini berhasil runtuh saat berbicara dihadapan sang suami. Namun, untuk pagi ini, entah kenapa emosinya tak bisa dengan mudah dikontrol.
"Kalau.. aku ikut, nggak papa?"
"Kamu? Ikut? Kalaupun kamu ikut, kamu nggak akan bisa ngawasi aku, sayang. Kamu harus ada di bagian akhwat, dan kamu bahkan nggak kenal mereka satu pun. Lagipula, aku juga nggak bakalan ke bagian akhwat kok," bela Ferdy.
Nayra menelan ludahnya sendiri. Benar juga kata suaminya. Dia jelas tidak kenal satupun seorang di bagian akhwat nanti. Dan dia tak akan bisa mengawasi suaminya yang berada di bagian ikhwan. Oh ayolah, Nayra, kenapa kau jadi mudah curiga seperti ini?
Lagi-lagi Nayra menghela nafas. "Iya sudah, Mas Ferdy boleh berangkat. Tapi.."
Tubuh Ferdy menegang. Tapi.. apa?
"Kalau sesudah pulang nanti, aku titip es degan, ya?"
Tubuhnya yang barusan menegang, seolah berubah mencair dan melemas. "Iya, sayang. Nanti aku belikan, minta berapa bungkus?"
"Tiga bungkus aja. Tapi, tiga bungkus itu buat aku semua ya? Sama titip juga, keripik tempe, ya?"
"Keripik tempe? Sayang.. disini bukan Malang, ini Jogja. Keripik tempe harus nyari dimana aku?" Oke, Ferdy hampir menyerah.
"Ayolah.. Mas.. Tempat reuninya kan hampir mendekati perkotaan. Di kota pasti ada, lagian keripik tempe termasuk oleh-oleh yang patut diperhitungkan di Jawa Timur, lho.."
"Iya memang. Tapi, ini Daerah Istimewa Yogjakarta, bukan Jawa Timur," harus seperti apa lagi Ferdy menjelaskan?
"Pasti ada. Oke? Satu bungkus keripik tempe, ya?" dengan imut, Nayra memasang wajah cantik didepan suaminya.
"Iya, in sya Allah," Ferdy mengulas senyum. Terpaksa, memang. Ya, semoga saja, Allah memudahkannya kelak. Walau sampai saat ini, Ferdy masih bingung dengan sikap Nayra yang dari kemarin ingin terus makan dengan permintaan yang aneh-aneh. Bagaikan orang hamil yang ngidam.
Tapi, tunggu, jangan-jangan Nayra hamil? Tidak. Nayra bilang tadi hanya masuk angin biasa. Mungkin permintaan anehnya ini bukan karena ngidam, tapi karena murni keinginannya. Tapi, walapun hamil, Ferdy pun tak dapat menolaknya. Bayangannya akan istri tercintanya yang dengan sabarnya mengandung anak mereka, diam-diam membuatnya senyum-senyum sendiri.
♡♡♡
"Ferdynya kemana, Nay?"
Pagi itu, Nayra sedang membantu Mama memasak di dapur bersama Nenek. Pagi ini, menu makanannya adalah ketupat. Mengingat sekarang ini momennya adalah Hari Raya 'Ied yang identik dengan ketupat dan lontong seusainya. Tak lupa pula, Nenek mengajak Nayra untuk memasak Gudeg Jogja yang paling mantap katanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Shalihah Bersamamu
DuchoweCinta. Ia adalah perasaan yang fitrah. Tercipta dalam setiap hati dua insan dengan ijinNya. Namun, saat ia diperlakukan dengan cara yang salah menyalahi syariatNya, apakah pantas disebut cinta? Maka, jangan pernah mencampur adukkan hukum syariat den...