Part 22 : Perasaan ini..

104 4 0
                                    

Laki-laki berperawakan ideal itu menyeruput kopi hitamnya dengan gusar. Kerutan dahi yang spontan terlukis kala itu sepertinya mampu menggambarkan apa yang ada di hatinya saat ini. Mengingat begitu pahitnya kopi yang baru saja ia minum. Ahh.. sepertinya.. suasananya benar tahu bagaimana mendung hatinya saat ini.

"Assalamu'alaikum!"
Tepukan yang tiba saja mendarat di pundak lelaki itu spontan membuatnya terlonjak.

"Wa'alaikumussalam," jika biasanya ia menyambut dengan ceria sapaan itu, tidak itu sekarang.

"Antum kenapa? Lesu banget kayak baju yang gak disetrika?"

Matanya yang tajam rupanya lebih memilih untuk menembus kopi hitam yang diaduknya. Bukannya menoleh ke arah Akmal, sahabat karibnya.

"Cerita aja, Fahmi.. Aku udah kenal kamu 6 tahun di kuliahan. Ditambah lagi kita sama-sama jadi dosen sekarang, udah hafal mah aku sama ekspresi mukamu. Apalagi kalau.."

Laki-laki yang dipanggil Fahmi itu mulai mendongak. Tersenyum kecut. "Aku patah hati, Mal.."

"Subhanallah.." bukannya ikut sedih, suara Akmal malah lebih persis suara kagum seolah Fahmi mendapat medali emas sedunia.

Fahmi mendesah. "Iya, aku patah hati.."

"Fahmi.. fahmi.." Akmal terkekeh pelan, "Terakhir aku dengar ceritamu yang patah hati itu, sekitar 1 tahun yang lalu, jadi.. sekarang.. siapa bidadari yang lagi-lagi bukan takdirmu ini? Lebih sholihah ya, dari si Nay?"

"Justru itu, Mal.." makin lama, rupanya Fahmi semakin lesu. "Bidadari itu.. masih saja Nayra. Dan.."

"Masih Nayra? Fahmi, berapa kali lagi aku harus mengingatkan? Dia bukan takdir kamu, dia itu sudah meni.."

"Aku tau, Akmal! Aku tau! Dia sudah menikah, iya aku tau. Bahkan sekarang dia sedang hamil pun aku juga tau. Tapi.. kenyataan bahwa suaminya ternyata adalah sahabat dekat seperjuangan aku yang membuat aku patah hati lagi."

Lagi-lagi, pundak Fahmi ditepuk. Bukan, bukan keras karena mengagetkan seperti tadi. Tapi, keras karena tepukan ini tepukan seorang sahabat yang ingin membuatnya tegar. Tegar dari kenyataan pahit ini.

"Fahmi.. apa yang menurutmu baik, belum tentu baik menurut Allah, bukan? Dan.. sesempurna apapun, setinggi apapun, kamu membuat sebuah rencana hidup, tetap.. Allah sutradaranya."

"Maaf, Mal.. Aku.. aku belum bisa melupakan gadis itu," Fahmi menggeleng pelan.

Drrtt.. drrtt..
Pandangan kedua lelaki itu spontan teralihkan. Terlebih lagi Fahmi. Matanya langsung melebar begitu melihat nama penelpon.

Akmal tersenyum menguatkan sahabatnya. "Angkat, Fahmi.."

"Assalamu'alaikum, Fer.."
Ahh.. Begitu beruntungnya dirimu, Ferdy, mendapatkan gadis sholihah seperti Nay..

"Sekarang, Fer?... Nggak juga sih, aku nggak sibuk banget, kok... Iya, bisa... Alhamdulillah, iya, iya... In sya Allah... Oke, aku langsung on the way ya... "

Fahmi menghela nafas kasar. "Ferdy nyuruh aku kesana sekarang. Desain buku cetak yang aku buat udah selesai, aku diminta kesana buat ngecek cocok enggaknya."

Lagi-lagi, hanya tepukan yang didapat Fahmi. Tapi, siap kira, justru tepukan itu membuatnya semakin tegar. "Ingat Fahmi, bukan salah dia mengkhitbah Nayra lebih dulu dari kamu, tapi.. ini murni skenario Allah. Masih banyak gadis lain yang mau sama kamu. Yang sholihah diluar sana, masih banyak."

Akhirnya, Fahmi tersenyum. "Jazakallah khoyr, Akmal. Kamu, selalu yang terbaik."

♡♡♡

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 01, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Shalihah BersamamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang