Part 19 : Shock?

127 4 0
                                    

Pagi itu, sepertinya Percetakan Alpard benar-benar kejatuhan banyak bintang. Berseri bagai wajah managernya, namun juga tiap bintang berebut perhatian layaknya kerlap-kerlip sinar bintang yang bersahutan. Yap, mungkin rejeki karyawan Percetakan Alpard sedang bersinar bebarengan, sehingga memancing banyak sekali pelanggan. Hampir saja dari mereka kelabakan, jika tak ada manager yang mendampingi mereka kini. Karena biasanya, jam-jam sore seperti ini, sang manager sibuk menemani sang istri jalan-jalan ataupun hanya diam saja di rumah.

"Kasihan ya mereka, Mas.."

Ferdy menaikkan alis heran. "Kasihan? Kok kasihan sih, Nay? Justru Alhamdulillah dong.."

Kali ini, gantian Nayra yang menaikkan alis heran. "Loh? Kok Alhamdulillah sih? Kasihan, Mas, mereka harus kelimpungan gara-gara pelanggannya banyak."

Ferdy tersenyum simpul. "Itu sih, resiko memang. Setiap pekerjaan pasti ada resikonya, ada konsekuensinya. Namanya juga hidup."

"Tapi, tetep aja kasihan," alih-alih membenarkan perkataan suaminya, Nayra malah mengerucutkan bibirnya. Menampakkan ketidakterimaannya atas perkataannya tadi yang dianggap biasa.

Bukannya minta maaf ataupun menjelaskan kembali, Ferdy kini hanya melongo keheranan. Ini istrinya lagi mau PMS mungkin ya? Kok dari tadi pagi bawaannya marah mulu.

Seperti siang tadi juga, sebenarnya kondisi kepala Nayra tidak bisa diajak kompromi untuk berdiri lama ataupun berjalan jauh, karena saat dibiarkan, pusing kepala Nayra seolah meningkat seiring dengan rasa mualnya yang bebarengan. Entah masuk angin atau apa. Ferdy benar-benar tak paham. Sehingga, ia hanya bisa melarang saat Nayra berkeinginan untuk jalan-jalan dan mencari es degan. Namun, untuk menyelimurkan keinginan jalan-jalannya, Ferdy pun mengarahkannya untuk berdiam diri di Alpard sekaligus mengawasi karyawannya.

"Fiuhh.. Mbak Nay, minta es degannya ya?" setelah mendapat anggukan dari Nayra, Desi yang mendadak duduk di sebelah Nayra langsung meneguk gelas yang ada di meja.

"Haus banget ya, Des?"

Hanya anggukan kepala. "Banget, mbak, si ibu yang Desi layanin tadi, ribet banget sampe minta fotocopy berkasnya berkali-kali, Desi sampe bolak-balik kesana-kemari."

"Yang sabar, yaa.. kamu kalau haus, habisin aja gih, es deganku."

Desi meringis. "Enggak deh, mbak. Kalau Desi habisin, bisa diamuk sama Bang Uci."

Mendengar perkataan Desi, spontan saja Nayra tertawa. Bukan, bukan karena Desi takut diamuk oleh suaminya. Tapi karena panggilan suaminya yang entah darimana nama Uci itu berasal.

"Nay, aku tinggal bentar nggak papa? Mau nemui klien. Deket kok dari sini rumahnya."

"Eh, iya, Mas, nggak papa."

"Nanti kalau butuh apa-apa, minta sama Bu Ning ya? Tetep disini aja, jangan kemana-mana," dengan buru-buru Ferdy mengemasi sedikit berkas-berkasnya. "Cewek, kok, Nay."

Nayra tersenyum malu. Sepertinya, suaminya ini benar-benar tahu detail tentang semua arti dari ekspresinya yang tersirat.

"Yaudah, hati-hati kalau gitu," Nayra mencium tangan Ferdy.

"Aduuhhhh so sweetnya mbak, cium tangan gitu, saya baper, lho, mbak," celetuk Nia yang tiba-tiba ikut duduk bergabung bersama Desi.

"Makanya, Ni, nikah. Iya nggak mbak?" timpal Desi.

"Hii kamu. Emangnya nikah itu gampang? Ya emang sih akad nikahnya gampang, tinggal bilang qabiltu nikahaha, udah sah, tapiiiii.. setelahnya.. beuhhh, banyak yang harus dilakukan, konsekuensinya juga banyak."

"Ya kalau kamu mandang kayak gitu, nggak bakal nikah-nikah dong, Ni," baru juga sejam Nayra kenal dengan karyawan baru di tempat kerja suaminya ini, tapi rupanya, keakraban mengalir dengan begitu mudahnya.

Shalihah BersamamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang