Part 16 : Hari Kemenangan

103 3 0
                                    

Ferdy tersenyum melihat keramaian penduduk desanya saat hendak berbondong-bondong berjalan ke Masjid At-Taqwa yang tak jauh dari rumahn neneknya kini. Selalu menyejukkan hati. Suasana Jogja memang selalu berhasil membuatnya seolah berada pada tempatnya. Kehidupannya yang berlangsung di Jogja selama 6 tahun dulu, hidup bersama asuhan neneknya tanpa keberadaan kedua orangtuanya, tanpa sadar berhasil membuatnya mencintai Jogja seperti rumahnya sendiri.

Memang, dulu sewaktu kecil, dia sempat di Kalimantan, lalu kemudian Jogja dan akhirnya kini berada di Malang bersama kedua orangtua dan istrinya kini. Tapi, Jogja memang selalu bisa membuatnya ingin tinggal lebih lama disini.

Jogja memang selalu ngangeni. Ya Malioboronya, angkringannya, pemain musik jalanan, acara malam takbirannya yang selalu menggelengar juga sego kucingnya. Bahkan, jika harus boleh jujur, terkadang ia tak bisa menafiki keinginan kecilnya untuk mengajak Nayra tinggal disini. Di Jogja, dan menghabiskan seluruh waktu berkeluarganya disini. Tapi, entah.. mungkin nanti akan ia bicarakan khusus empat mata dengan Nayra. Jika setuju, Ferdy benar senang bukan kepalang. Namun jika tidak, bisalah.. nanti ia membujuknya.

"Fer, ayo ndang budhal, kok malah meneng ndik kene?" tegur Nenek yang kini digandeng Nayra disampingnya.
~ (Fer, ayo berangkat, kok malah diam disini?)

"Inggih, Mbah. Kula ngrantosi jenengan. Budhal bareng-bareng kuwi lak enak toh, Mbah. Iyo kan, Nay?" dalih Ferdy.
~ (Iya, Mbah. Saya nunggu mbah. Berangkat bareng-bareng gitu kan enak, Mbah. Iya kan, Nay?)

"Ferdy kuwi nduk, pancet ae koyok pas cilik mbiyen. Lek dikongkon kuwi lho, kadang memeli," dengan berbisik, Nenek berpesan pada Nayra. Nayra yang mendengarnya hanya bisa senyum-senyum kecil.
~ (Ferdy itu ya, tetep aja kayak kecilnya dulu. Kalau disuruh, selalu alasan aja)

"Mboten punopo, Mbah, yen ngono kuwi Mas Ferdyne njaluk dijewer kupinge. Kadang awakdewe yo tukaran cilik ten griya."
~ (Nggak papa, Mbah, gitu itu Mas Ferdy minta dijewer telinganya. Terkadang kita ya berantem kecil di rumah)

Pelan, Nayra menggandeng Nenek Rini ke masjid yang jaraknya hanya 1 km dari kediaman kini. Berbondong-bondong bersama Mama, Ayah, Monic, Tante juga saudara-saudara yang lain.

Sedikit, Nayra meringis. Jika biasanya, dia berjalan bersama Ibu, Bapak dan dua adiknya, tidak untuk tahun ini. Tahun ini mungkin adalah tahun pertama dia tak Shalat 'Ied bersama keluarga di rumah. Jika dibilang, memang benar, Nayra kini sudah punya kehidupan sendiri yang akan dia pilih mengikuti sang suami. Yang harus lebih dulu dipatuhinya ketimbang orangtuanya. Karena kini, ridha Allah bergantung penuh pada suaminya, bukan orangtuanya.

♡♡♡

Shalat 'Ied kali ini akhirnya berjalan dengan lancar. Dengan alunan takbir, lalu ceramah seusai shalat yang mengajarkan kita arti Ramadhan itu dan pentingnya Shalat Sunnah 'Idul Fitri ini. Juga mengingatkan tentang kemenangan kaum muslimin yang hakiki, dimana seluruh kaum muslimin berada dalam satu pemikiran dan perasaan yang sama. Lalu berada dalam naungan yang sama, yakni dalam Naungan Islam. Dimana syariat menjadi jalan utama dalam setiap kehidupan.

Perlahan, Nayra tersenyum miring. Bukan, mungkin lebih tepatnya, tersenyum pahit. Mengandai.. andai saja kini ia sudah berada dalam Naungan Islam.
Berandai dalam rangka kebaikan, memang diperbolehkan, selagi tidak menjadikan kita lalai akan takdir Allah dan tidak menyalahi sunnatullahNya.

"Nay.. pulang, yuk?" Tiba-tiba Silvi menjawil pundak teman SMPnya yang dulu ditemuinya di Taman Centaury dulu. Dalam hati ia bersyukur, bisa dijadikan saudara kerabat dekat dengan teman SMPnya itu. Siapa sangka, saat hendak sahur terakhir kemarin, yang ditemuinya di dapur justru wajah yang lama dinantinya.

Shalihah BersamamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang