Revenge

3K 131 9
                                        

"..Just a favour, Mir? Hitung-hitung balas budi karena telah mengenalkan Marshal kepadamu. One chill lunch with Aldo won't hurt, right? Dan beberapa pemanis mulut tentang menyesal dan mengajak berdamai, kupastikan semuanya off limit. Ayolah, Mir, beri aku muka sedikit!"

"Duh, Dom, kalau bukan karena aku melihatmu sebagai teman lama, sudah pasti aku nggak akan sudi bertemu dengannya lagi. Dan menghabiskan lunch bersamanya?? Worst date ever!"

Domi tertawa di seberang, berusaha sebaik mungkin menutupi emosinya yang mulai kesal karena hampir setengah jam lamanya berdebat dengan Mirinda tanpa hasil. "Come on, Mir? Kau tahu kau satu-satunya harapanku..!"

"Lagian kamu, sih, Dom. Ngapain juga terjun begitu dalam hanya demi membalas dendam kepadanya? Atau... Tunggu. Kamu nggak naksir dia, kan??"

Domi nyaris tersedak ludahnya sendiri. "Gila aja! Dia itu 'cowok', Mir! Nggak level banget naksir cewek belingsatan kayak dia. Cih! Kamu salah taksir, Mir. Ini sama sekali bukan masalah hati. Ini masalah harga diri! Aku nggak bisa dilecehkan begitu saja, Mir. So please, please, pleaseeee..."

"Fine, fine, just name it. Dan satu lagi, berjanjilah untuk tidak meninggalkan Gisel demi cewek nggak jelas itu, oke? Kau tahu apa saja yang bisa kulakukan jika aku marah, bukan?"

Tapi, Domi sudah tak lagi mendengarkan kalimat terakhir sahabat lamanya itu, dan malah berseru kegirangan. "Shit, Mir, you're the best! Oke, sister-in-law paling aduhai nan cantik abad ini! Kukabari secepatnya, ya. See you soon!"

*

Carla berjalan bersisian dengan Claire menuju cafe yang terletak di lantai teratas gedung kantor itu. Hari ini reuni mereka dengan teman sekelas semasa SMA. Dan, meski Ian berasal dari kelas yang sama, ia bersyukur cowok itu tahu diri dan membiarkan Carla mendampingi Claire.

"Long time no see sahabat sepermainan selapangan se-ruang ganti...!" adalah sapaan paling norak sekaligus sapaan pertama Cylan sang mantan gebetan kepadanya. Carla mendengus kesal, tapi sudah cukup terbiasa dengan tingkah sablengnya. Yang tertangkap di matanya justru sosok Cylan yang hanya datang berduaan dengan Ian.

"Vio nggak datang?"

Cylan hanya meringis.

"Lan?"

Ian di sebelah Cylan melengos geli. "Sedang berantem, Car."

Carla menatap Cylan menyelidik. "Nothing much... Right?" Sebuah harapan terlarang tumbuh tiba-tiba di hati Carla, yang segera ia tekan demi alasan apapun juga. Walaupun ia memiliki perasaan terhadap Cylan yang sama dalamnya dengan Vio, pacar Cylan, ia tak memungkiri bahwa Vio adalah sahabat baiknya dan Claire, dan ia tak mau sesuatu yang buruk terjadi padanya.

Cylan kembali meringis.

Ian menatap Cylan sebal sebelum kembali menjawabkannya untuk Carla. "Sudah seminggu ini belum ada tanda-tanda akan membaik."

"Lan! Apa yang terjadi?" Carla terkejut menatap Cylan, sementara pikirannya semakin campur aduk. Harapan sialan, enyahlah jauh-jauh!

Cylan mengangkat bahu, tampak jelas sedang menghindari topik itu. Lalu, dengan sengaja, digandeng lengan Carla dengan kasual. "Kau tahulah, jealous dan kawan-kawan. Tak usah terlalu dipikirkan--daripada itu, kau temani aku, oke?"

Carla menatap tangan Cylan yang bertengger di lengannya dengan pandangan membunuh--meski jantungnya diam-diam memburu.

Cylan mengerang ketika mengerti artinya. "Kau tahu aku tak terbiasa sendiri, oke? Dan Ian akan ber-lovey-dovey seperti biasanya dengan kembaranmu. Sebagai kembaran Ian boleh kan aku merasa senasib denganmu? We used to be like this, bukan, Car..."

Cylan terus berbicara, melebarkan topik ke mana-mana, tapi Carla sudah tidak dapat menangkap sisanya. Matanya tiba-tiba tertumbuk pada dua sosok yang tengah makan siang bersama, beberapa meja darinya. Dua orang yang seharusnya sudah tidak bersama saat ini, sehingga keterkejutannya memergoki keduanya membuat Carla berhenti mengacuhkan apapun di sekitarnya--tak terkecuali Cylan.

Cowok banci itu, ada urusan apa makan siang berdua saja dengan his so-called ex-girlfriend??

*

Carla mengayunkan kakinya menuju meja sialan itu. Cepat, dan seperti robot, karena kesadarannya sendiri tersedot oleh campur aduk pikirannya saat ini. Seru-seruan Cylan, yang mengejarnya, yang notabene barusan setengah menit yang lalu sempat membuat jantungnya bekerja lebih berat daripada biasanya, hanya separuh didengarnya.

Sebuah emosi menggelegak dalam diri Carla. Tidak tahu pasti mengapa, yang jelas ia merasa ia tertinggal sesuatu.

Ada yang tidak beres di sini.

Carla menggeram ketika sang cowok tak juga menoleh ke arahnya, despite her gorilla steps. Semakin kesal ketika disadarinya hal itu disebabkan oleh pandangan cowok itu yang terlalu terpaku pada cewek di depannya--ugh!

Sebuah isakan menghentikan Carla tepat pada waktunya. Isakan dari gadis yang membelakanginya. Hanya selangkah sebelum ia berbelok dan menampakkan diri--membuat juling menjadi satu-satunya excuse cowok itu jika masih juga tak melihatnya.

"Is it too late to say I miss you? Meski kini aku hanya bisa mendoakan kau bahagia dengan dia. Kau tahu kita tak pernah benar-benar mengucapkan selamat tinggal, bukan?"

Klise, klise, klise... rutuk Carla memutar matanya tak sabar.

"Dia?"

Salah fokus, Bro... Carla kembali memutar matanya, kali ini dengan senyum geli di bibir.

"Kukira kau bersamanya? Cewek super yang menjadi topik utama pesta kemarin? Ia memukulmu jatuh, bukan begitu? No offense, tapi menurutku kau pantas mendapatkan yang lebih baik."

Persetan dengan mencuri dengar! Kenapa namanya jadi ikut terbawa-bawa?? Carla melangkah keluar dari persembunyiannya dengan hati panas. Sialan, memangnya siapa yang mengatakan bahwa ia berminat dengan cowok banci itu?! Well no thanks, she'd better pass!

Almost Over YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang