Butuh satu hari penuh untuk Domi akhirnya kembali ke dunia nyata. Setelah mengurung diri, mematikan seluruh gadget serta sambungan telepon ke kamar, dan bahkan menolak untuk menemui siapa saja, akhirnya ia memutuskan sudah saatnya menghadapi kenyataan. Akhirnya ia menyadari, bersikap pengecut takkan membawanya ke mana pun.
Berawal dari me-reject panggilan-panggilan masuk dari Mirinda, bahkan hanya berjeda satu menit sejak Domi mengaktifkan ponselnya. Domi sungguh tak habis pikir terhadap kedua kakak beradik itu, mengapa selalu Mirinda yang datang mencari dan bukan Gisel? Tunangan siapa sebenarnya Domi?
DOMI! Don't you dare rejecting my call! Do you know how much I've done for you?! You bastard!
Domi hanya bisa tertawa miring membaca pesan super posesif yang baru dikirim oleh Mirinda. Fixed, calon istrinya berkandidat dua.
F*ck off, Mir. Unless you're my fiancée, and unfortunately you're not, so just f*ck off.
Tak terbayang betapa banyak kelegaan yang membanjiri hatinya ketika ia mengirimkan pesan itu. Tanpa sadar Domi menggeleng-gelengkan kepalanya, sembari memikirkan kebodohannya untuk tidak mengirim pesan bernada serupa sedini mungkin. Balas dendam memang selalu terasa manis. Terutama setelah sekian lama ia mau-mau saja diancam dan diperbudak oleh sang kakak tiri--he's not f*cking Cinderella!
Ponselnya sudah mulai berdering kembali, dengan nama Mirinda terpampang di layar, tapi dengan sengaja Domi mendiamkannya. Ia justru duduk termenung, menyesap kopi dingin yang diambilnya dari kulkas pribadi di kamarnya seraya berpikir.
It was tough night he just had. Akal sehat dengan hati nuraninya sikut-menyikut demi didengarkan, demi dimenangkan. Mulanya, Domi sudah mantap dengan keputusannya. Hingga kemudian, ia memikirkan konsekuensinya.
Bagaimana mengatakannya pada mereka semua? Gisel, Mirinda, manager juga produsernya. Keluarga besarnya hingga media massa. Dan terutama, bagaimana mengatakannya pada Carla?
Domi menghela napas panjang sembari ponselnya berkedip-kedip tanda pesan baru masuk. Tapi, ia tak tampak sama sekalipun berniat mengeceknya. Ia justru meraih ponselnya dengan satu nama membayang di kepalanya.
Yang ia tahu, ia harus segera menghubungi orang itu. Atau ia akan mulai gila perlahan.
"Hi--"
"Wait, wait." potong suara jernih di seberang sana. Terdengar suara berisik di belakang layar, ditimpali ketukan heels menyentuh lantai kayu. Lalu, setelah bunyi berdebum pintu yang ditutup, hening--tidak terdengar suara sekecil apapun.
"Hey, you done?" panggil Domi tak yakin ketika lawan bicaranya masih juga diam setelah hening beberapa lama.
"..Kau tahu, aku sudah menyiapkan sumpah serapah untukmu, bahkan menulisnya seperti pidato kelulusan. Tapi, sekarang, entahlah. I just can't spill them out."
Domi terkekeh pasrah. "Well, tidak setiap hari aku meneleponmu. Kau yakin tidak ingin mencaciku selagi sempat?"
Terdengar hembusan napas pelan di seberang. "Ya. Ya, Domi, she forgives you, so I should, too."
Giliran Domi membisu di ujung telepon.
"Jadi? Kau meneleponku hanya untuk mengheningkan cipta?"
"..She's doing well?"
"By doing you mean getting over you?"
"Claire, kau tak pantas menjadi orang sarkas." Domi tertawa lemah. "Mengapa kau mengatakannya seakan di antara kami benar-benar sudah done?"

KAMU SEDANG MEMBACA
Almost Over You
Roman d'amourKadang, aku masih memikirkanmu. Di relung hatiku, aku mengharapkanmu. Dalam kesunyian tanpa kata, dalam kerinduan yang menyesakkan. Tapi, dunia kita terlalu jauh berbeda. Dan, maafkan aku tak cukup kuat untuk menyebranginya, demi untuk bersamamu. Ma...