Numb

1.8K 87 1
                                    

Carla tersentak bangun dalam satu tarikan napas. Tubuhnya berbalut peluh, dan napasnya terengah-engah dalam posisi duduknya di ranjang. Berbagai ingatan menjelang ketidaksadarannya berebut memenuhi pikirannya, membuat tangannya secara refleks bergerak menekan kepalanya yang terasa nyaris pecah.

Sebuah kesadaran menyusupi benaknya, menuntutnya untuk memastikan sesuatu, dan dengan cepat disibakkannya selimut putih yang menutupi tubuh bagian bawahnya.

Ia terisak di detik pertamanya memandang isi selimut itu.

*

[flashback]

Darah. Darah dalam jumlah yang sangat banyak membuatnya hampir tak mampu mengenali bagian tubuhnya lagi. Mobil sialan itu sudah menghilang entah ke mana, setelah dengan sangat tiba-tiba menabraknya dengan kecepatan tinggi dari belakang. Dan hari yang masih sangat pagi membuat kompleks perumahannya yang cenderung sepi itu benar-benar kosong tanpa seorang pun tampak berkeliaran.

Bodoh. Seharusnya ketika ia keluar untuk membeli bahan memasak tadi, ia membawa serta ponselnya, dan bukannya hanya beberapa puluh ribu rupiah di kantong piyamanya. Atau setidaknya ia membanguni Claire dan berpamitan pada adiknya itu. Dan sekarang, ia hanya bisa tergeletak tak berdaya, dengan bagian tubuh dari pinggang ke bawah terasa kebas saking sakitnya.

Ouch. Apakah ia akan baik-baik saja? Ia sudah terlalu sering terlibat perkelahian hingga luka dan memar tak lebih dari sekedar makanan sehari-harinya. Tapi, kali ini berbeda. Sakitnya tidak setingkat dengan cedera biasa. Dan ia tidak bisa merasakan kaki kanannya--

"CARLA!!" Sebuah suara yang sudah sangat dikenalnya membuatnya bersusah payah mendongakkan kepalanya, mencari sumbernya. Ia mendengar langkah-langkah berderap tergesa, dan melihat hanya sesaat setelahnya Claire jatuh terduduk di sebelah tubuhnya yang tergeletak bersimbah darah.

"Carla, Carla, demi Tuhan..." Wajah adiknya yang manis itu banjir air mata, tubuhnya yang mungil bergetar tak keruan, dan ketika ia pada akhirnya berhasil menghubungi ambulans, butuh beberapa menit sebelum ia berhasil menceritakan apa yang terjadi dan menyebutkan lokasi kejadian. Carla terkekeh lemah, meski kesakitan, dalam hati ia bersyukur Claire menemukannya. Pastilah ESP di antara keduanya yang mengirimkan rasa sakit yang dirasakannya kepada Claire--di saat-saat seperti ini, ia sangat bersyukur Claire bukan hanya adiknya, melainkan adik kembarnya. Karena kalau tidak, mereka takkan memiliki hubungan batin khusus seperti yang mereka miliki sekarang.

"Kumohon... Bertahanlah, Carla..." suara Claire yang terdengar rapuh mengembalikan Carla ke keadaannya saat itu. Refleks Carla tanpa sadar mengangkat tangannya untuk mengusap pipi Claire yang pucat dan penuh air mata, bermaksud menenangkannya. Namun, Claire justru menangis semakin keras tanpa mampu mengatakan apapun lagi.

Carla tak ingat bagaimana dan kapan pastinya ambulans itu datang, atau ke rumah sakit mana ia dilarikan. Ingatannya berganti-ganti di antara kesadaran dan ketidaksadaran, gelap dan terang, tubuhnya yang bergoncang-goncang di dalam ambulans, dan tangan Claire yang tak berhenti menggenggam tangannya erat. Yang ia tahu, hanya beberapa menit menjelang tidur panjangnya, ia sudah berbaring di ranjang UGD, dengan satu dokter mengecek keadaannya.

Dalam kesadarannya yang timbul tenggelam akibat kehilangan banyak darah, Carla hanya dapat menangkap sedikit perkataan dokter itu. Intinya, dokter itu meminta persetujuan Claire untuk mengamputasi sebagian kaki Carla demi menghentikan pendarahan. Carla ingat kala itu ia sudah tidak mampu bangun, tidak mampu berbicara, bahkan untuk menjaga matanya agar tetap terbuka saja sudah sangat susah. Tapi, dengan seluruh sisa tenaga dan kesadarannya ia meronta-ronta, menatap Claire dengan pandangan memohon, setengah mati berharap Claire mengerti bahwa ia memilih penyembuhan yang lebih lama atau bahkan kemungkinan selamat yang berkurang ketimbang satu kakinya diamputasi.

Almost Over YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang