[pic] Domi lagi nontonin pertandingan basketnya Carla.
*
"...Nggak, antara aku dengan Gisel sudah tidak ada apa-apa lagi. Jadi, tolong mengerti, ya. Jangan sangkut-pautkan lagi namaku dengan dia, atau kalian akan menyesal karena membangunkan macan yang tertidur." Domi, lengkap dengan setelan putih-pink yang selalu menjadi ciri khasnya dalam presenter acara musik itu, mengedipkan sebelah mata dan menyungging sekilas senyum kebesarannya. Carla mendengus melihat acara infotainment itu, bahkan jejeritan para fans ketika Domi tersenyum sempat bocor ke rekaman itu sebelum berpindah ke sang pembawa acara.
Suara bel pintu rumah yang berbunyi nyaring mengalihkan perhatian Carla dari acara infotainment yang ditontonnya. Carla bangkit, meletakkan remotenya di meja, lalu bergegas membukakan pintu.
"Morning, Darla!" Sebuah boneka beruang super besar memenuhi pintu yang dibukanya, bahkan sampai menutupi pengirimnya. Tapi, dari suara ramahnya yang khas, Carla tidak ragu sang pengirim adalah cowok yang sama yang baru saja ngeksis di layar TVnya.
"It's C, C, Carla, and it's already noon." jawab Carla tanpa antusias berlebih.
"Hei, hei! Kalau jam tidur kita berubah menjadi pukul tiga pagi, sah-sah saja kan aku menganggap ini masih pagi? Lagipula, kau tak suka hadiah dariku?" Domi mengintip dari boneka besarnya.
"Suka, suka banget!" sahut Carla dengan sarkasme tingkat dewa. Tapi, bukannya kesal, Domi justru tertawa lepas. "Sudah berapa lama mengenalku, Mr. Caramel? Susah sekali mematri di otakmu bahwa semua cewek menyukai hadiah menye-menye seperti ini. Semua cewek, kecuali aku!"
Domi tertawa semakin keras. "Sorry, it's just... I kind of miss that reaction of yours. Here, hadiahmu yang sesungguhnya." Mata Carla membulat penuh keantusiasan melihat apa yang tersembunyi di balik boneka beruang besar itu. Sekantong penuh bakso pinggir jalan kesukaannya! "Pengisi energimu. Good luck untuk pertandingan nanti malam, ya, Sayang..."
"Oh, Dom, you're the best!!"
Domi hanya bisa tertegun ketika Carla memeluknya erat dan tidak melepas lagi. Kata-kata balasan yang sudah di ujung lidahnya buyar begitu saja.
Baru satu hari dan cewek itu sudah berhasil mengejutkannya berkali-kali.
Carla melepas pelukannya, lalu menatap Domi dengan mata berbinar-membuat yang ditatap lagi-lagi hanya bisa membisu selama beberapa lama. "Ayo makan?"
"..Sori, tidak, kau makanlah. Aku sudah terlambat ke pesta ultah keponakanku, gotta go. Nanti sore kujemput jam lima, oke? Jangan berangkat sebelum aku menjemputmu." Selama sesaat kehilangan kontrol dirinya yang sempurna, serta kesal karena tak benar-benar tahu apa penyebabnya, Domi bergegas pergi, meninggalkan Carla terbengong dengan boneka super besar serta bungkus baksonya.
*
Carla hanya bisa menganga lebar mendapati dengan siapa Aldo datang malam ini.
Mirinda!
Kenapa dan bagaimana...? Apa cowok itu sudah gila? Tidak tahu apa akibatnya bermain api dengan Marshall? Dan, satu lagi. Apa kerja jalang itu di sini??
Ia begitu bingung dengan keadaan yang ada, hingga tidak menyadari cowok di sebelahnya lebih terkejut dari yang seharusnya. Domi menatap Mirinda seolah menatap kuntilanak di siang bolong. Mustahil dan menyeramkan sekaligus!
Buru-buru, Carla menarik Aldo memasuki lapangan basket. Berpamitan dengan pacarnya sendiri secepat kilat, dan melenggang begitu saja melewati Mirinda. Sampai keduanya tidak lagi dalam batas pendengaran maupun penglihatan Mirinda serta Domi, akhirnya Carla tak tahan untuk bertanya, "Apa yang kaulakukan, ke sini bersamanya??"
Aldo menatap Carla heran. "Aku yang seharusnya bertanya padamu; apa yang kaulakukan ke sini bersamanya? Kalian bahkan bergandengan tangan, dan ia bahkan menciummu sekilas tanpa mendapat perlawanan! Apakah kalian sudah resmi bersama?? Dan sama sekali tidak ada niat untuk memberitahuku?? I can't believe it!"
Carla melengos tak nyaman. "Well, sorry, tapi kami bahkan belum genap satu hari! Lagipula kau kan tahu itu tidak lebih dari sekedar tingkahnya yang melebih-lebihkan." Carla melotot kesal, lalu cepat-cepat mengubah topik. "Tapi itu tidak penting. Daripada itu, Mirinda??"
"It's not really like what you think..." Aldo tersenyum dipaksa.
"Yeah? I don't think so. You being third party, aku bisa melihatnya hanya dengan mata telanjang."
"Tuh, kan!" Aldo mengerang kesal. "Mirinda dan Marshall sudah hampir putus. Hanya tinggal tunggu tanggal saja! Aku bukannya menjadi penengah yang mengacaubalaukan hubungan mereka dari belakang. Aku sama sekali tidak sembunyi-sembunyi!"
"Tapi juga tidak meminta ijinnya, bukan?"
Aldo menatap Carla sangsi. "Tidaklah! Apa kau kira aku senaif itu?"
"Lalu apa namanya kalau bukan orang ketiga??"
Aldo mengerang. "Come on! Aku harus bagaimana, La, supaya benar di matamu? Lagipula, Marshall pun tidak perlu ijinku untuk merebut Mirinda!"
Carla bersedekap. "Kau baru saja mengatakan kalau kau sama saja dengan si brengsek itu."
"Oh, please, La..." Aldo memutar mata, lelah oleh tingkah judgemental sahabatnya.
Carla menghela napas, berusaha mengatur emosi yang tidak perlu dalam dadanya, lalu kembali berkata dengan nada rendah, "Sejak kapan?"
Aldo menatapnya bingung. "Sejak kau memergokiku, di resto hotel waktu itu. Tidak ingat?"
Carla balik menatapnya tak kalah bingung. Selama itu, dan Marshall sama sekali tak berbuat apapun??
"Everybody get ready in five minutes!" Namun, sebelum ia sempat mengatakan apapun, seruan peringatan dari sang pelatih dengan segera membubarkan mereka.
*
"Tidak terseret ke dalam ritme kehidupan si upik abu, huh?" Mirinda tersenyum miring tanpa sedikit pun menatap Domi. Setelah berjalan mengelilingi lapangan, akhirnya mereka menyerah menemukan bangku yang nyaman, dan duduk berdampingan di sudut yang paling jauh dari keramaian. Dan, setelah bermenit-menit penuh dengan keheningan, dan saling menyimpan pikiran di benak masing-masing, akhirnya salah seorang menyerah.
Domi mendengus. "Aktingku luar biasa, eh? Kurasa sudah saatnya aku mengajukan diri menjadi aktor sinetron."
Mirinda menggeram, ketika Domi tampak tak menganggapnya serius. "Kau sungguh berpikir aku akan melepaskanmu begitu saja?"
Namun, senyum keji yang tiba-tiba tergambar di wajah Domi membisukannya. "What do you think? Tergila-gila padaku? Checked. Tak bisa melepaskan pandangan dariku? Checked. Sedang berada di atas angin, lebih dari yakin aku mengaguminya lebih dari cewek manapun? Checked. Akan hancur jika terkhianati olehku? Well... Safe to say, most probably, huh?"
Selang beberapa lama sebelum Mirinda menemukan kembali suaranya. "Dom... Kau sungguh berpikir ini ide bagus untuk membalas dendam?"
"Ada apa denganmu? Menjadi ragu dan paranoid, all of the sudden. Bukankah kau yang selalu membencinya, bahkan melebihi aku? Mengapa kau kini menjadi lembek padanya?" Domi menyeringai mengerikan. "Mirinda, Mirinda. Adalah harga yang tinggi untuk membayar ego lelaki, don't you think?"
"...Bagaimanapun, ia juga cewek, Dom."
"Justru itu!" sergah Domi tiba-tiba, membentak dan menciutkan nyali lawan bicaranya. "That's exactly why, Mirinda. I must take her down. Karena ia hanya seorang cewek, dan tidak menyadari posisinya. Melanggar batas ego seorang pria, menginjak-injaknya seperti sampah. Ia tahu kelemahanku, dan masih saja sengaja bermain api. Sekarang, akan kubuat ia membayar dengan kelemahannya!" Domi bersedekap dengan wajah sedingin es. "Ia harus tahu, seorang pria tidak hanya dinilai dari kekuatannya. Dan, seorang pria bisa menjadi apapun untuk meraih tujuannya."

KAMU SEDANG MEMBACA
Almost Over You
RomanceKadang, aku masih memikirkanmu. Di relung hatiku, aku mengharapkanmu. Dalam kesunyian tanpa kata, dalam kerinduan yang menyesakkan. Tapi, dunia kita terlalu jauh berbeda. Dan, maafkan aku tak cukup kuat untuk menyebranginya, demi untuk bersamamu. Ma...