[Kalyca]Kejutan tuhan memang tidak akan pernah ada habisnya. Aku, sebagai manusia yang di beri kesempatan menghirup udara di semesta miliknya ini, sudah seharusnya menjalankan cerita yang telah Ia bentuk seapik mungkin, tanpa perlu mengetahui bagaimana kelanjutannya, apalagi akhirnya. Seperti hal nya cerita yang telah ku anggap selesai, namun ternyata masih harus berlanjut.
Kejutan itu datang lagi, setelah sebelumnya berhasil mengejutkanku bertahun-tahun silam, dan sekarang kembali mengejutkanku, di sini. Andai saja, satu jam yang lalu aku menolak untuk mengantar mama arisan di salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta, karena aku tahu, ketika sampai disini, yang akan aku lakukan hanyalah mengitari pusat perbelanjaan, yang luasnya saja tak dapat ku hitung, sendirian, ditemani kedua kakiku yang sialnya sudah minta dibebas tugaskan. Andai saja aku tidak terlalu mempermasalahkan untuk masuk ke restoran tempat mama arisan hanya karena takut di tanya,
"Kalyca, udah punya pacar belum?"
"apa sudah punya calon?"
"kalau belum, anak tante sudah mapan kok."
dan pertanyaan-pertanyaan lain yang menyinggung tentang hubungan lebih dari sebatas teman, aku tidak harus duduk di stan es krim sekarang. Dan lebihnya, aku tidak harus melihat dia yang ku anggap sebagai alasan sebuah sensitifitas untuk pertanyaan di atas, dan semuanya hanya akan membawaku kembali ke gudang berisi ribuan file masa lalu yang sudah ku kunci rapat-rapat. Tapi, kuncinya tidak ku buang, masih ku gantung pada kalung ingatan yang selalu ku bawa kemanapun aku pergi. Dan sekarang aku mengerti mengapa tuhan masih ingin aku menyimpan kuncinya, karena pada saat seperti ini, Ia masih ingin aku membukanya.
"Kalyca?" Suaranya masih sama seperti terakhir kali aku mendengarnya memanggil namaku. Saat ini, aku benar-benar tidak tahu, apakah aku harus berterima kasih pada tuhan atau tidak, karena pada akhirnya dapat mendengar suaranya bahkan melihatnya kembali.
Tapi aku masih diam, tak satupun kata terlontar dari mulutku. Seolah tak ada satu bahasa pun yang aku mengerti untuk akhirnya ku katakan, bahkan hanya sekedar untuk merespon panggilannya. Kaki pajangnya itu mulai bergerak, mendekat ke arahku. Orang normal pasti akan berdiri dan berjalan menjauh, tapi itu tidak berlaku padaku. Seluruh tubuhku sudah lemas, semua sendiku mendadak enggan untuk bekerja, begitupula otot-ototku. Yang aku lakukan sekarang hanya duduk diam, memandang lurus ke matanya, dan mendengarkan langkah kakinya yang beriringan dengan denyut jantungku.
Jangan mendekat.
Batinku mengucap, tapi tentu saja telinganya tak bisa mendengar. Sampai tiba dimana ia berdiri tepat di depanku. Aroma parfumnya masih sama, masih seperti yang ku ingat, astaga. Aku masih diam, masih terduduk lemas sambil menatapnya yang ternyata belum tenggelam di segitiga bermuda. Because he's here, standing right in front of me, without any guilt or sadness detected. Just, him.
You look fine.
"Bin!" sebuah suara menginterupsi kontes tatap mata yang sedang berjalan. Bukan menginterupsi, mungkin lebih ke menyelamatkanku yang dari tadi masih diam, begitupun dia.
"Aku cariin kamu, yuk?" Tangan gadis ini dengan ringan melingkar di lengannya, mengisyaratkan 'dia milikku, jangan di ganggu.' yang aku tebak sudah menjadi kebiasaan yang aku tidak ingin tahu sejak kapan. Aku bisa apa selain menghadapkan pandanganku ke arah yang lain?
Dia hanya diam, tidak menolak dan ikut pergi bersama gadis yang telah kuketahui identitasnya itu, meninggalkanku sendirian, lagi. Normalnya, aku akan bersikap biasa saja karena dia bukan milikku lagi. Tunggu, dia memang tidak pernah jadi milikku, dia bukan siapa-siapa, hanya seorang kenalan lama yang kebetulan sedang berada di pusat perbelanjaan yang sama, dan kebetulan lewat toko es krim yang sedang aku jadikan tempat peristirahatan sementara. Namun, aku tidak baik-baik saja, setidaknya, hatiku menolak untuk sependapat dengan otakku.
Aku mengambil sendok yang berada di dalam mangkuk es krim berbentuk panda yang sengaja ku pesan, mencoba mengambil es krim nya untuk sekedar menenangkan hatiku, namun aku gagal. butuh waktu lebih dari 10 detik untukku sampai akhirnya dapat mengambil es krim yang jaraknya tidak sampai 20 cm di depan mataku. Tanganku bergetar hebat, bahkan aku merasa seluruh tubuhku bergetar. Ku letakkan kembali sendok itu, menautkan kedua tanganku dan menekannya erat untuk mengurangi frekuensi getarannya.
Oh please not now.
Aku memejamkan mataku, memfokuskan fikiranku pada kedua tanganku, namun gagal. Semua terasa sangat berat, sakit. Bukan karena tanganku, tapi ada bagian lain yang rasanya ditimpa beban berat, yang menyebabkan timbulnya rasa sakit. Tanpa sadar sesuatu mulai turun, membahasi tanganku. Itu air mataku, yang sudah ku timbun sejak lama dan kujanjikan untuk tidak keluar lagi, setidaknya tidak untuknya. Namun hari ini, aku harus minta maaf lagi pada diriku sendiri karena telah mengeluarkannya, lagi.
Air mata itu masih sama, masih berisi kesedihan dan kekecewaan yang aku pikir akan hilang di makan waktu. Atau mungkin waktu sudah kenyang memakan kesedihan dan kekecewaanku, sampai akhirnya dia begah dan berhenti? Sisa-sisa sedih dan kecewa ternyata masih tersimpan dalam sisi gelapku, tidak tersentuh oleh waktu namun tertutup terang, meskipun redup, namun masih sanggup menutup perasaan sedih dan kecewa itu. Namun sekarang, terang sudah tidak sanggup lagi menutupnya.
Kamu lihat? Betapa aku ingin kamu tetap sembunyi dalam gelap?
^^^^^
Hello! Welcome readers!
Ini cerita yang akan aku post untuk pertama kalinya. Please kindly tell me your opinions and advices.
Please comment and vote! hope you'll enjoy the journey!
With love, H xx
KAMU SEDANG MEMBACA
Félicité [KTH]
RomanceBe careful because butterfly can be wasps. When your stomach flutters and your hand shakes and your cheeks flush, sometimes it's not love, it's pain. - a.r. [book 1] In BAHASA INDONESIA.