enam belas

325 56 4
                                    

[Bintang]

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

[Bintang]

"You've made me fall so hard, like so fucking hard, but you weren't there to catch me."

Kata-kata Kalyca itu yang akhirnya berhasil nempel di otak gue hingga sekarang. Memang kesalahan gue yang itu yang nggak bisa dengan mudah di pindah tangankan menjadi kesalahan orang lain. Gue menjadi pihak pertama yang menyatakan perasaan gue dan gue juga yang lebih berusaha dan menunjukan bentuk realisasi atas perasaan gue tersebut, dengan harapan Kalyca akan merasakan hal yang sama seperti apa yang gue rasakan, hingga akhirnya kita bisa di bilang lebih dari sekedar teman. Tapi bodohnya, gue nggak berfikir lebih lama lagi untuk sekedar menimbang-nimbang akan keputusan gue yang tiba-tiba pergi, meskipun tujuannya bukan untuk meninggalkan Kalyca karena gue sayang sama dia. Gue juga nggak peka akan efek jangka panjang yang akan terjadi sama Kalyca, kayak sekarang.

Semenjak tadi malam, gue dibuat merenung sambil melihat lampu-lampu yang jadi pengganti bintang di malam hari. Hingga perlahan mati dan di ganti oleh matahari, karena sudah pagi. Gue masih terus berfikir gimana caranya untuk membenahi apa yang sudah terjadi, karena gue tahu, sekedar minta maaf aja itu mustahil untuk membenahi semuanya. Tapi gue juga tahu, 'membenahi' itu sendiri adalah hal yang mustahil untuk terjadi.

"Hp lo ilang ya?" Gue membukakan pintu kamar gue yang di bel berkali-kali itu, mendapati Darel berdiri di depannya. Rusuh banget emang pagi-pagi.

"Kenapa?"

"Soalnya gue telfon 1000 kali yang ngangkat cewek, minta maaf terus lagi." Jawab Darel. Maksudnya ini nyindir, cuma karena gue udah biasa jadi yaudah.

"Nggak sekalian kenalan? Tanya gitu minta maaf kenapa?"

"Besok mau berangkat jam berapa? Ibu sama Sarah gimana?" Darel duduk di atas kasur. Mencoba mengalihkan pembicaraan supaya lebih serius.

"Biarin mereka stay di Bandung, di rumah nini. Ibu juga nggak mau balik ke sana, katanya mau di Bandung aja." Jelas gue yang sebenarnya berat untuk meninggalkan keduanya di Bandung, yang berarti dekat dengan lelaki itu. Tapi gue udah banyak nitip ke orangtuanya Galang dan Darel, dan mereka juga bersedia untuk membantu.

"Terus lo? Ngapain ke Paris lagi? Nggak betah apa di Bandung aja?"

"Kerjaan gue belum kelar disana. Nanti ijazah gue nggak cair." Darel mengangguk sambil menyandarkan tubuhnya.

Besok gue akan pulang, eh nggak pulang ya, balik ke Paris. Tujuannya ya melanjutkan pekerjaan yang sengaja gue tinggal untuk beberapa hari, karena universitas gue ini terikat dengan sebuah perusahaan yang mewajibkan setiap lulusannya untuk bekerja di negara tersebut untuk jaminan ijazah. Awalnya gue ikhlas untuk balik lagi ke Paris, setelah gue lihat Kalyca siang itu di kantornya Gibran. Tapi setelah kita ketemu lagi kemarin, apalagi lihat dia menumpahkan hampir semua emosinya, ada rasa berat hati untuk meninggalkan tanah air lagi.

Félicité [KTH]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang