sebelas

300 52 5
                                    

[Kalyca]

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

[Kalyca]

Kumpul bersama keluarga besar itu memang menjadi momen yang paling jarang dilakukan. Paling mentok ya saat lebaran, tapi kali ini tidak. Momennya lain, hari ini momennya adalah arisan keluarga. Hampir seluruh saudara jauhku datang ke Jakarta untuk berkumpul, memang tujuan awalnya adalah untuk silaturahmi, masalah arisannya itu nomor kesekian.

Tapi ada perasaan yang kurang mengenakan setiap kali aku datang ke acara keluarga. Sadar atau tidak, percaya atau tidak, pertanyaan dari para saudara terkadang, bahkan most of the time, membuat keinginanku untuk datang menjadi berkurang meskipun hanya sekedar menyapa keluargaku, contohnya,

"Kapan nikah?"

atau lebih sederhananya lagi,

"Masih sendiri mba? Udah 25 loh."

Iya, memang sudah umur segitu, terus kenapa? Aku masih tidak mengerti dengan jalan pikiran, usia segitu sudah usia terlambat menikah. Like, seriously? Masih banyak orang di luar sana yang lebih berumur dariku dan masih belum menikah. Dan aku bukan tipe orang yang suka terburu-buru untuk menjatuhkan pilihan, apalagi urusan masa depan. Karena aku tidak ingin yang sudah terjadi harus terjadi lagi.

"Kamu cantik iya, pinter iya, kerja udah, apartemen juga udah punya sendiri, nunggu apa lagi toh mba?" Kali ini tanteku yang bilang, Tante Silva. Dari semua tanteku, atau mungkin keluargaku, tante Silva ini bisa di bilang paling dekat denganku, jadi wajar saja kalau dia lebih mengkhawatirkanku.

"Nunggu calonnya lah, ma, gimana mau nikah kalo calonnya aja nggak ada." Ini mba Felis, anak tante Silva yang kebetulan tinggal di apartemen yang sama denganku, hanya saja kamar kami beda lantai.

"Loh? Itu si Gibran? Masih di anggurin aja toh?"

"Cuma temen tante." Jawabku, memang kami cuma teman kok.

"Yang ganteng, sukses begitu jangan cuma di jadiin temen, Kal. Sayang loh. Kalo di ambil orang aja nyesel." Ujar mba Felis.

Let me introduce you guys to this man, Gibran Attalah. Dia ini seorang manager di salah satu perusahaan kontraktor yang cukup terkenal di Jakarta. Dia anak teman mamaku yang memang sengaja dikenalkan dengaku sekitar 6 bulan yang lalu. Memang tidak ada yang kurang dari Gibran, dia baik, dia sukses, parasnya juga mendukung. Apalagi yang Kalyca pertimbangkan? Banyak. Saking banyaknya aku sampai kehabisan kata-kata untuk mengutarakannya.

Gibran itu jauh dari kata kurang, dia sempurna. Tapi Kalyca tetap tidak mau. Bukan tidak mau Gibran jadi pacarnya, hanya tidak mau membuka hati lagi, setidaknya belum. Masih teringat jelas di memoriku bagaimana sakitnya jadi seorang Kalyca Shana yang berumur 21 tahun kala itu. Masih teringat juga bagaimana aku menolak pergi keluar rumah hingga libur semester benar-benar habis. Aku lebih memilih tidur di kamar, sendirian, bahkan menolak untuk memasukkan makanan ke dalam tubuhku. Masih ingat juga Sinta yang mengetuk-ketuk pintu kamarku, membujuk aku untuk keluar dari penjara yang sekarang sudah jarang kumasuki itu, karena sudah punya tempat tinggal sendiri.

Félicité [KTH]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang