dua belas

284 53 1
                                    

[Kalyca]

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.




[Kalyca]


"Kale? Kal, kenapa?" Sepasang tangan menggenggam tanganku yang masih dibawah pengaruh tremorku. Bahkan sepertinya seluruh tubuhku bergetar hebat.

"Hei? Kamu kenapa?" Gibran. Dia lagi yang datang menyelamatkanku hari ini.



Masih teringat jelas waktu pertama kali aku menunjukkan kelemahanku yang ini didepannya. Malam itu, malam dimana Gibran mengajakku makan malam dan memberikanku kesempatan untuk mengakhiri semuanya. Tapi gagal.



"Aku pernah kecewa, Gib, dan aku nggak mau lagi."

"Aku nggak pernah bilang ada niatan bikin kamu kecewa, Le."

"He also didn't but he did." Gibran terdiam, membiarkanku sekali lagi terlarut ke dalam masa laluku. "Aku yang salah karena udah pukul rata semua standar lelaki di dunia. And I can't go any further, Gib."



Untuk pertama kalinya, aku menangis di depan lelaki ini. Yang ia lakukan hanya diam, pindah ke sebelahku, membiarkanku menangis beberapa menit di atas pundaknya sambil mengutarakan kekecewaanku yang masih terasa jelas. Sama seperti sekarang. Gibran disini, menggenggam tanganku, mendekapku dalam pelukannya, membiarkanku sekali lagi mengeluarkan air mata yang masih penuh dengan kekecewaan.

"Pulang aja yuk? Aku anterin." Aku menggeleng pelan, biar sedang kalut pun aku masih ingat kalau mamaku masih di sini.

"Mama." Jawabku singkat, tapi aku yakin ia mengerti maksudku.

"Nanti mama kamu aku yang jemput lagi kesini, sekarang anter kamu pulang dulu ya?" Gibran membelai lembut kepalaku yang masih dalam pelukannya. Sebelum akhirnya membantuku berdiri, berjalan ke parkiran.

Sepanjang jalan aku hanya diam, air mataku masih menetes meskipun frekuesinya sudah tidak sesering tadi. Aku juga mulai tenang,sudah tidak sesenggukan lagi. Gibran masih diam, masih fokus menyetir dan memberiku waktu untuk menenangkan diriku lebih lama lagi. Sedangkan aku, masih terus digantungi bayangan Bintang yang dengan sehat walafiatnya muncul lagi didepanku.

Bagaimana bisa kamu se baik-baik itu sekarang, Bin? Sudah bawa gandengan pula. Kamu nggak tau gimana susahnya aku membuka hati lagi karena kamu? Sedangkan kamu dengan mudahnya membiarkan aku melihat kamu dengan perempuan yang sialnya sudah tak asing lagi.

Sehat ya kamu, Bin. Kayaknya cuma aku yang pernah dan masih struggle disini. Cuma aku yang anggep kamu lebih dari sekedar stranger yang aku temui di jalanan. Aku sakit, Bin. Kamu tau nggak?

Pintu penumpang mobil Gibran tiba-tiba terbuka. Aku mendongak melihat Gibran membukakan pintu untukku yang masih melamun memandang ke depan. Kita sudah sampai dan aku tidak menyadarinya. Otakku terlalu penuh dengan pikiran tentang Bintang. Aku turun dari mobil, mendengar Gibran menutup kembali pintu penumpangnya.

Félicité [KTH]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang