[Bintang]
Setiap orang yang datang pasti akan pergi, tapi tolong jangan lupakan bahwa setiap kepergian itu pasti akan memiliki waktu kembali. Sama seperti pengalaman gue, pergi meninggalkan Bandung dan kenangannya adalah salah satu keputusan yang bisa dikategorikan sebagai keputusan paling nekat dan paling sulit yang pernah gue buat. Jadi, memutuskan untuk kembali juga salah satu keputusan tersulit yang harus gue buat, keputusan itu harus gue pertimbangkan dengan sangat amat hati-hati selama lebih dari 24 jam. Bukan apa-apa, karena banyak kenangan yang sengaja, dan tidak sengaja, gue tinggal di Bandung.
"Masih hidup lo? Gue kira udah di telen bumi, Bin." Statement sarkas ini keluar dengan enteng dari mulut Galang saat dia jemput gue, Ibu serta Sarah di Bandara.
"Emang Bintang paling tega. Kayak gini aja baru lo hubungin kita." Lanjut Darel. Yang bisa gue lakukan sekarang hanya senyum-senyum sambil liatin mereka yang masih setia gue repotin setelah kurang lebih 4 tahun gue tinggal tanpa kabar yang jelas. Tapi tujuan gue jelas kok, Paris.
Hari ini, gue beserta Ibu dan Sarah memutuskan untuk pulang ke Bandung. Tujuannya, untuk memberikan bela sungkawa atas meninggalnya nenek gue. Sebenarnya kabar ini kita terima sekitar 2 hari yang lalu, hanya saja butuh pertimbangan yang matang untuk gue akhirnya memutuskan untuk kembali ke sini, karena merasa nggak enak juga sama keluarga yang lain. Artinya harus mengesampingkan ego gue sejenak.
"Masih inget pulang kamu?" Kata lelaki itu sesaat setelah kami sampai di rumahnya.
"Pulang? Kita cuma bertamu." Gue bisa lihat tangannya yang mulai mengepal, lagi. Tapi gue nggak peduli, apa yang gue katakan saat ini memang kebenaran yang sudah gue tanamkan sejak bertahun-tahun lalu. Bahwa tempat ini sudah bukan rumah lagi, bahkan jauh dari sebutan rumah.
Empat tahun lalu, harus gue akui sebagai tahun dengan hari terberat sepanjang sejarah hidup gue di dunia.
"Gue mau pulang."
"Bin-"
"Jangan di paksa, Lang." Sela Darel yang sepertinya tidak ingin beradu argumen, "Mau ketemu Ibu kan, Bin? Sarah juga?" Gue mengangguk karena gue tahu Darel melihat gue dari kaca, "Kita pulang." Katanya.
Tapi malam itu, malam dimana gue baru saja pulang dari Paris, gue yang sangat rindu rumah itu tidak bisa berakhir ke rumah, tapi ke rumah sakit. Gue harus jadi satu-satunya orang paling bego saking bingungnya ketika kedua teman gue itu membawa gue menyusuri lorong bangunan yang baunya nggak enak itu, hingga akhirnya berhenti tepat di depan ruang bertuliskan ICU. Sarah duduk di depan ruangan itu, sendirian. Gue hanya diam sambil melihat Sarah yang perlahan mendongak lalu bangun dan memeluk gue, perlahan suara tangisnya terdengar, bersamaan dengan rasa basah di baju gue. Saat itulah gue tahu isi ruangan itu tanpa harus masuk ke dalamnya. Orangtua Galang juga disana, hanya diam karena kaget lihat gue ada disana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Félicité [KTH]
Roman d'amourBe careful because butterfly can be wasps. When your stomach flutters and your hand shakes and your cheeks flush, sometimes it's not love, it's pain. - a.r. [book 1] In BAHASA INDONESIA.