Kabar Pertama Dari Amsterdam

22 3 0
                                    


Sejak harikeberangkatan Bima ke Amsterdam, Indira terus menjaga ponselnya supaya jangansampai kehabisan daya. Dia terus memastikan ponselnya tetap aktif supaya Bimabisa menghubunginya ketika Bima sudah tiba di Amsterdam. Hampir setiap hariponsel itu tidak pernah menjauh dari sisinya. Bahkan ketika dia sedang tidur,ponselnya selalu berada di samping bantalnya dan menemaninya tidur.

Menanti menjadihal yang mulai akrab dengan Indira, terutama sejak beberapa hari yang lalu.Dulu, dia menakuti hal ini. Namun ternyata ketakutan itu muncul karena diabelum mengenal dengan baik dengan yang namanya penantian. Dan kini dia mulaimengenal hal itu dengan sangat baik.

Seminggu sudahberlalu dan masih belum ada kabar dari Bima. Entah dia sudah tiba di Amsterdamatau belum? Entah dia sudah mulai masuk kuliah atau belum? Tidak ada kabar samasekali darinya. Indira mulai merasa salah satu ketakutan yang kini sedang diarasakan, mulai terjadi.

Indiramerebahkan dirinya ke tempat tidur. Tiga hari terberat dalam masa pendidikannyasudah berlalu. Hari ini adalah hari terakhir masa pengenalan kehidupan kampusbagi mahasiswa baru, atau yang lebih di kenal dengan istilah "OSPEK". Indirabersyukur bisa melewatinya dengan baik, walaupun seluruh badannya terasa sakit,dan rasanya sangat mengantuk. Dia dilanda kelelahan yang amat sangat.

Indiramengerjapkan matanya berkali-kali, menatap langit-langit kamar yang berwarnaputih polos tepat di atas kepalanya. Bayangan Bima muncul di sana. Indira sudahberusaha untuk sedikit menghilangkan rasa rindunya kepada Bima dengan beragamaktivitasnya, namun tetap saja ada saat di mana dia akan diam dan hanyasendirian, dan di saat itulah semua kerinduannya yang sudah dia coba untukredakan, menyeruak tidak karuan, bagai sekumpulan hewan liar yang terkurungdalam sebuah kandang dan akhirnya terlepas.

Tiba-tiba,ponsel Indira berdering kencang. Dia merasa tidak terlalu bersemangat lagiuntuk meraih ponselnya itu. Itu pasti telepon dari Sabrina atau mungkin Adrian!Pikir Indira sambil bermalas-malasan bangkit dari tempat tidurnya, kemudianmeraih ponselnya yang masih berada di dalam tasnya. Sebuah nomor baru dengankode negara yang sedikit kelihatan aneh terpapar jelas di layar ponselnya.Wajah Indira berubah, dan jantungnya berdetak cepat. Dengan penuh semangat,Indira mengangkat telepon itu.

"Halo? Ini Bima,ya?" sapa Indira dengan wajah penuh pengharapan.

Tidak adajawaban dari seberang telepon.

Indira menegukludahnya kuat-kuat berharap orang yang ada di balik telepon itu bersuara,terlebih dia berharap orang itu adalah Bima.

"Halo? Ini Bima,ya?" tagih Indira penuh harap.

"Kamu..., kangen,ya?" suara Bima keluar dengan sangat jelas dari speaker ponselnya Indira.

Wajah Indiraberubah penuh kebahagiaan.

"Biiimmmaaaaa......,kenapa baru telepon sekarang, sih? Kangen tauukkk!!!" seru Indira sambilmeloncat-loncat kegirangan.

"Iya, maaf! Akujuga kangen, tauk! Kabar kamu gimana? Pasti udah mulai ospek, ya?"

"Aku baik-baikaja! Aku juga udah selesai ospek. Tapi..., aku nggak jadi masuk di Universitasitu."

"Lho? Kenapa?Bukanya kamu pengen banget bisa kuliah di sana?"

"Iya, sih! Tapiaku sendirian di sana. Jadi, aku pindah deh. Masuk ke kampus yang sama denganBrina dan Iyan."

"Oooohhh...,kasihan pacar aku. Pasti kesepian, ya?"

"Nnggg..., ngggak jugasih. Iyan sama Brina sering main ke rumah, terus ke fakultas aku juga. Jadinggak kesepian-kesepian amat," jawab Indira dengan nada bahagia. "Kamu di sanagimana?" lanjutnya balik bertanya.

"Aku baik-baikaja! Aku juga udah mulai kuliah. Ternyata di kampus aku itu banyak jugamahasiswa dari Indonesia, lho. Jadi aku nggak kesepian-kesepian amat juga."

Mereka pun mulaimengobrol tentang banyak hal. Tentang keseharian mereka, tentang kuliah mereka,bahkan tentang orang-orang aneh yang mereka lihat di kampus merekamasing-masing pun menjadi bahan obrolan mereka.

Ini adalahhiburan terindah untuk Indira dan Bima. Selain karena terpisah jarak, perbedaanwaktu juga membuat mereka semakin susah untuk berkomunikasi. Itulah yangmenjadi alasan mengapa pertemuan lewat udara yang seperti ini tampak sepertikado yang sangat spesial untuk mereka berdua.

Perasaan Indirasaat itu tidak bisa digambarkan dengan kata-kata. Berkat telepon dari Bima,semua kerinduannya langsung hilang, bahkan tak berbekas lagi. Walaupun hanyalewat udara dan hanya mendengar suaranya saja, Indira sudah merasa sangatbahagia. Bahkan Indira sendiri merasa sulit untuk menjelaskan perasaannya saatitu. Semua rasa lelahnya, semua rasa sakit di badannya, dan semua rasangantuknya, hilang seketika. Dan entah kenapa, Indira merasa obatnya hanyasatu, yaitu..., suara Bima.

Mereka mengobrolbanyak hal. Bicara ngalor-ngidul, bercanda, bahkan sesekali mereka saling diamdan hanya terdengar desahan napas mereka saja. Hampir seluruh ruangan kamarnyadi jelajahi oleh Indira, mulai dari dekat jendela, meja belajar, tempat tidur,bahkan sampai balkon kamarnya dijelajahi Indira dengan langkah kecil sambilmulutnya mengobrol dengan Bima.

Setelah percakapandi telepon yang cukup lama itu, Indira menyadari satu hal. Hubungan jarak jauh,tidak semenyeramkan yang dia pikirkan selama ini. Dia tetap bisa bahagia, diatetap bisa tersenyum, dan bahkan dia merasa ini lebih menyenangkan dibandingkan hubungan jarak dekat, yang setiap hari bisa bertemu dengan pacarnya,dan bisa kapan saja dia merasa bosan dengan pertemuan itu.

Hal yang lainyang dia sadari setelah telepon perdananya dengan Bima saat itu adalah...,mungkin jarak tidak se-perkasa yang dia bayangkan. Dan kali ini dia sangatyakin, dia akan menang melawan jarak. Walaupun dia juga sadar terlalu diniuntuk memutuskan hal itu. Bahkan mungkin jarak belum menunjukan sosok aslinya.

-**-

BIMA "Cinta, Persahabatan dan Janji"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang