Chapter 3 : The Role Model

10.3K 2K 35
                                    

MIA

Seperti apa yang dikatakan Jimmy sebelum dia pergi, Carlos memang ditunjuk sebagai pengganti Jhonny untuk mengisi peran otoritas, tapi Annona justru jauh lebih mengintimidasi dan menakutkan dari kekasihnya itu.

Awalnya kukira hanya aku yang berpikir demikan, tapi ternyata aku tidak sendiri soal ketakutan terhadap wanita berambut gelap panjang sebahu yang punya garis wajah tegas dan ekspresi seolah semua orang tidak dapat memuaskan ekspektasinya.
Karena ternyata semua survivor di sini juga menghindar dari pandangan menusuk Annona.

Itu yang diceritakan Dean, salah satu survivor paling muda saat menurunkan muatan dari van ke dalam gudang bersamaku.

Ya, survivor ternyata juga suka bergosip.

Tidak banyak orang tahu tentang latar belakang Annona di kehidupannya sebelum badai matahari ini terjadi atau setelah dia menjadi survivor.

Rumor mengatakan dia bekas pasukan khusus. Mata-mata Rusia, pembunuh bayaran dari deep web, dan sebangsanya tapi semua dugaan mereka tidak punya bukti pendukung.

Satu-satunya hal yang pernah kudengar dari Carlos dan kuyakini kebenarannya tentang Annona, hanyalah Jhonny yang mempercayakannya untuk merawat dan mengatur suplai persenjataan agar tetap tersedia.

Carlos juga pernah bilang kalau Annona tidak mudah berbaur dengan orang lain. Hal itu menjawab pertanyaanku selama ini, kenapa dia hanya bekerja sendiri dan tidak suka bergabung dengan siapapun.

Dia telah menjadi wanita yang menakutkan bagiku dulu--sekarang juga masih begitu, tapi seiring dengan berjalannya waktu, begitu aku sudah menetapkan tujuan hidup baruku, pandangan itupun berubah. Aku ingin tahu sosok gadis ramping yang mampu membuat survivor bertubuh tiga kali lebih besar darinya terbata-bata. Aku ingin tahu hal-hal yang sudah dia lewati hingga bisa menjadi setangguh sekarang. Namun, tentu saja itu sulit, karena aku tidak bisa mendekati apa yang berada di luar jangkauanku.

Hari itu tidak berbeda dengan biasanya. Ketika semua survivor sibuk melakukan tugasnya mengamankan kawasan serta logistik mereka, aku juga sibuk mencari hal yang sanggup dilakukan seseorang sepertiku.

Otot tanganku memang tidak sekuat survivor sungguhan yang sanggup mengangkat beban berat sekali jalan. Tapi aku mampu membersihkan gudang, membersihkan dapur, mengangakut air, membantu menurunkan muatan yang bisa kubawa dan hal-hal lain.

Kadang-kadang aku membersihkan kamar mandi karena tidak tahan dengan tampilannya setiap kali aku butuh menggunakannya. Apapun yang bisa kulakukan, akan kujalankan agar mereka bisa melihatku sebagai kekuatan dan bukannya beban.

"Mia..."

Aku menoleh ke arah Carlos yang datang, menghentikanku memandang bangga ke arah kamar mandi yang sudah bersih dan tidak licin lagi.

"Kau sedang melakukan apa?" Dia terlihat buru-buru.

"Menyikat lumut dari kamar mandi." Jawabku. Carlos tampak tertegun dan ikut berdiri disampingku memandang ke dalam.

"Aku tidak tahu ternyata keramiknya berwarna biru. Kukira selama ini hitam. Ini yang kau lakukan setiap hari? Aku lihat bahan makanan digudang juga tersusun berdasarkan jenisnya, kau yang lakukan?"

Wajahku kesulitan menahan rasa bangga karena pekerjaan kecil yang kulakukan akhirnya disadari seseorang.

Carlos terkekeh melihat ekspresiku dan mengacak-acak rambutku.

"Kau tidak perlu melakukan itu. Jhonny tidak akan mengusirmu selama Jimmy masih hidup." Kata-katanya melenyapkan perasaan senangku.

Kau tidak mengerti. Batinku.

"Ada apa mencariku?" Akupun berusaha mengalihkan pembicaraan.

"Oh iya. Aku harus ke bawah mengatur jadwal penjagaan karena ada pagar batas yang rusak. Tapi Annona menitip seember air. Aku tidak sempat naik lagi, jadi tolong bawakan ya?"

Seketika mataku melebar, "A-Annona? Aku?"

Carlos tertawa, "Iya. Tenang saja. Dia masih belum berubah jadi kanibal. Kau tidak perlu setakut itu. Cukup lakukan saja yang dia minta, oke? Aku pergi dulu." Tangannya melambai sekilas sebelum bergegas menuruni tangga.

Aku terdiam beberapa saat, lalu mencoba berani dan mulai mengisi ember yang dari tadi kugenggam.

Di lantai lima ujian untuk menjadi tegar itu semakin sulit ketika aku sudah berada di depan pintu yang tidak tertutup rapat. Ludahku rasanya berubah menjadi kerikil dan sulit sekali ditelan begitu aku melihat perempuan yang membelakangi pintu, menghadap ke dua jendela yang diubah menjadi satu sehingga ruangan ini menjadi terang sekali.

Annona menoleh waktu aku terbatuk. Dan itu tidak disengaja. Sama sekali bukan untuk menarik perhatiannya.

Kepalaku langsung terasa berat dan ingin menunduk, begitu merasakan pandangannya ke arahku. "Maaf... ini."

"Taruh di dekatku." Selanya langsung, membuang pandangannya ke arah lain.

Aku bergegas patuh, menaruh ember berisi air di dekat kakinya. Lalu kembali berdiri canggung. Tidak tahu apa harus pergi, atau tetap di sini karena dia memang belum menyuruhku keluar.

Di belakangnya aku terus memperhatikan bagaimana dia membongkar sebuah senjata yang tidak aku ketahui menjadi bagian-bagian kecil, menggosoknya dengan kain satu persatu lalu merakitnya kembali. Pandanganku tidak lepas waktu dia menarik sesuatu dan tiba-tiba membidik keluar jendela.

Jantungku mulai berdebar-debar. Namun hanya sepersekian detik, karena ternyata dia hanya mencoba. Dia berbalik untuk mencelupkan kain yang dipegangnya ke dalam ember, dan saat itulah dia melihaku.

"Kenapa kau belum pergi?"

"Emmm... karena kau belum menyuruhku pergi. Jadi kupikir aku masih harus di sini."

Sebelah alisnya terangkat, wajahya berubah masam seolah-olah jawabaku itu menyingung perasaannya. Seketika dia langsung berdiri tepat di depanku. Tinggi kami sama, Annona juga punya badan yang ramping, tapi sungguh aku takut waktu dia bicara padaku dengan jarak sedekat ini.

"Benarkah? Bukan untuk memata-mataiku? Kudengar kau ahli sekali menipu orang lain."

Kepalaku menggeleng cepat untuk pertanyaannya.
Dia menyentuh sejumput rambutku, lalu menjatuhkannya dengan gaya jijik.

"Kau tahu, aku benci padamu. Jauh sebelum kedatanganmu hanya sebuah rangkaian rencana misi bagi kami. Perempuan-perempuan sepertimulah yang membuat semua wanita dianggap remeh oleh laki-laki brengsek di luar sana." Ujarnya pelan dan marah. Mata kecoklatan yang senada dengan warna rambutnya menatapku lekat-lekat. Refleks kepalaku menunduk.

"Angkat kepalamu." Perintahnya, "Lalu asah semua pisau yang ada di sana" Annona menunjuk ke sebuah lemari. Mataku melebar melihat sekotak penuh pisau belatih di dalamnya, dan lebih terkejut lagi begitu mendengar perintahnya yang selanjutnya.

"Aku mau semuanya harus sudah selesai sebelum besok. Atau aku sendiri yang akan mengumpankanmu ke anjing liar seperti cerita Carlos beberapa hari yang lalu." Annona kemudian melewatiku, dan pergi keluar dari sini sebelum aku sempat mengomentari kemustahilan di depan mataku.

Kata-kata Carlos kembali terngiang, Dia tidak semenakutkan itu.

Seharusnya aku tidak percaya ucapannya.

***
Update-an ini bukan berarti sudah bisa kembali ke jadwal normal. Cuma kebetulan ada waktu dan ide :)

Behind The Rush (Behind The Wall Trilogy #2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang