Chapter 27 : The Havoc

7.9K 834 167
                                    

Sama seperti yang selalu dia bayangkan, bibir gadis itu selembut sentuhannya, segugup kalimatnya, dan semanis denting tawanya.

Alex sadar dengan semua hal yang dilakukan Mia, ketika hembusan napas Mia yang tertahan dia lepaskan pelan dan membelai lembut pipi laki-laki itu. Atau ketika mata kecoklatannya yang tadi membuka lebar, kini perlahan menutup, dan balas mencium. Semuanya menambah urgensi dalam kepalanya untuk menyembunyikan gadis itu agar dia tidak harus pergi ke tempat berbahaya. Tetapi tidak ada yang bisa dia lakukan.

Alex orang pertama yang menjauhkan wajah mereka agar dia bisa melihat Mia yang perlahan membuka matanya. Mata itu masih berkaca-kaca, setetes air mata mengalir dari sudut matanya dengan wajah yang sedikit menengadah.

"Permintaanmu... apa tidak ada yang lebih mudah?"

"Menurutmu mudah untukku?" bisiknya.

"Aku tidak pernah beruntung dalam hal menunggu," katanya, teringat kembali pada Helena walaupun hanya sepintas. "Aku juga tidak berbakat menunggu tanpa melakukan sesuatu."

"Kau bisa membantuku." jawab Mia cepat, "Itu yang berusaha kukatakan padamu dari dulu."

Alex mendengus. Masih mencoba terbiasa dengan sisi Mia yang berani menjawabnya, tidak seperti dulu.

"Kau benar-benar percaya aku akan kembali?"

Mia mengangguk. Matanya menatap yakin ke wajah Alex.

Alex tidak banyak bicara setelah itu, yang bisa dilakukannya hanya mengusap rambut Mia pelan, mata coklatnya menatap setiap senti wajah gadis itu. Ekspresin berusaha keras meyakinkan Alex, benar-benar naif. Kedua mata Alex bergerak ke setiap sudut wajah gadis di depannya. "Bagaimana kalau aku memang sudah mati?"

"Aku akan sedih. Tetapi akan terus berjalan maju dan mengenang hal baik yang kau lakukan untukku. Maka kau akan selalu hidup dalam ingatanku."

Alex terdiam. Mencoba memahami jawaban gadis itu. Dia tidak hanya ingin tahu apa yang akan dilakukan Mia jika mengetahui hal buruk terjadi padanya. Tapi juga ingin mengetahui apa yang dia harus lakukan. Bisakah dia melampaui perasaan kosong itu jika hal buruk terjadi?

"Aku akan kembali untukmu. Kau harus percaya aku," bisiknya pelan. Kedua tangannya menyelusup ke balik pinggang Alex, kepalanya mendongak ke atas karena perbedaan tinggi mereka yang lumayan jauh.

Alex masih tidak mengatakan apa pun sejak Mia menjawab pertanyaanya. Perlahan, dengan gerakan yang kecil dan ragu.

"Kau harus kembali," kata Alex. "Atau aku yang akan menjemputmu ke dalam sana."

Senyum gadis itu merekah, dan tanpa ragu sedikitpun Mia mengeratkan pelukannya di pinggang laki-laki itu, meletakkannya ke rahang Alex dan menarik kembali wajah laki-laki itu, menciumnya sekali lagi.

"Woah! Sejak kapan--" Alex tidak diberi kesempatan untuk menyelesaikan kalimatnya oleh Mia yang kelewat senang karena usahanya meyakinkan laki-laki itu akhirnya membuahkan hasil.

Sudut bibir Alex terangkat membentuk seringaian samar di sela-sela ciuman mereka.

"Bagaimana?" tanya Mia, kehabisan napas.

"Hmm? Apa?"

"Apa aku pencium yang baik?"

Alex terdiam, lalu tawanya meledak. Dia memeluk gadis itu erat-erat. Mengubur wajahnya di rambut coklat sepunggung yang selalu dia kepang longgar.

"Apa itu artinya iya?"

Alex melepas pelukannya, "Sejak kapan kau jadi seperti ini? Tapi latihan akan membuatmu lebih baik. Tenang saja aku akan melatihmu." Dia menyeringai lebih lebar, terlihat kembali seperti dirinya yang dikenal Mia. Alex yang percaya diri,

Behind The Rush (Behind The Wall Trilogy #2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang