MIA
***
Badai besar tengah terjadi malam itu. Angin mendesau-desau, petir menyambar, bahkan beberapa partikel bangunan yang pernah menjadi gudang persediaan senjata kelompok Evidance pun ada yang terbang terbawa angin.Tidak seperti di luar, --dengan langit berwarna merah menyala seakan menantang para survivor yang masih berani berada di luar-- ranjang di kamar Alex terasa begitu nyaman dan hangat walaupun beberapa per-nya ada yang mulai menusuk punggungku.
Berbalut selimut tipis, aku memandangi jendela dengan satu tangan bertekuk menjadi bantal. Aku bisa merasakan badanku yang kelelahan setelah melakukan banyak pekerjaan rutin dari pagi hingga siang, yang seharusnya membuatku langsung tertidur di detik pertama Annona mengizinkanku istirahat.
Tapi tidak. Nyatanya aku tetap terjaga bersama pengetahuan baruku tentang Alex yang masih hidup. Carlos pun mengiyakan kabar tersebut, dan menandakan ini bukanlah sekedar lelucon baru Jimmy yang kurang lucu.
Ini nyata. Setelah berminggu-minggu Alex menghilang tanpa jejak, menorehkan teror bagi satu aliansi, kini akhirnya terhembuslah kabar melegakan bagi ketiga kelompok aliansi ini. Yang juga sangat melegakan untukku.
Aku sudah berusaha untuk tidak terlalu memikirkannya. Hidup dan mati Alex bukan lagi element penting dalam hidupku karena aku berada di sini berkat lindungan dari Jimmy. Belum lagi jika Alex tahu kalau kesempatannya bertemu gadis impiannya sirna, lantaran perjanjian yang dibatalkan oleh pihak di balik dinding. Aku yakin Alex tidak akan menganggapku penting lagi.
Tapi entah bagaimanpun keadaannya di depan sana...
Aku tetap ingin melihat langsung keadaannya.Tubuhku mulai berbalik ke arah lain, memejamkan lalu akhirnya bangkit dari ranjang.
Berjalan ke arah pintu, membukanya dan menuju ke suatu tempat di mana aku bisa menemukan Carlos.
Carlos tengah duduk di salah satu kursi ruang makan yang sekalugus menjadi dapur umum kelompok ini. Namun untungnya tidak ada siapapun selain kami saat itu.
Carlos yang tengah membaca sesuatu kemudian mengangkat kepalanya untuk melihatku. Dia tersenyum kecil.
"Mia, belum tidur?"
Aku menggeleng. Lalu tanpa basa-basi langsung mengutarakan niatku mencarinya, "Aku memikirkan Alex. Kenapa kau tidak ingin melihatnya? Kukira kalian teman."
"Tentu saja. Dia rekan pertamaku waktu Jhonny memgizinkanku bergabung."
"Lalu kenapa tidak pergi? Dia di tempat Baron, tidak sulit menemukannya." Kataku.
Carlos mendesah lelah, lalu menyandar ke punggung kursi kayu dibelakangnya. Sebelum menjawab pertanyaanku seperti seorang Ayah yang lelah dengan pertanyaan anaknya yang itu-itu saja.
"Aku juga sama sepertimu Mia. Aku senang dia bisa ditemukan, dan ingin melihat dan memastikan langsung. Aku tidak tahu seperti apa dia menganggapku, tapi bagiku Alex lebih dari sekedar rekan satu tim. Tapi bagaimanapun besarnya rasa ingin tahuku, aku tetap tidak bisa ke sana karena tempat ini butuh dijaga. Dan itu tanggung jawabku. Untuk sekarang yang bisa kulakukan hanyalah menunggu." Jelasnya. "Dan sebaiknya kau juga begitu. Aku sudah dengar apa yang dikatakan Jimmy pada Annona. Tentangmu dan keinginanmu untuk menjadi survivor yang diakui Jhonny. Itu tidak mudah, tapi bukan berarti mustahil. Kau tahu, semua yang diambil Jhonny punya kemampuan yang diinginkannya. Jimmy, dan Mi querida Annona sudah jelas berguna dibidang apa. Aku? Mungkin karena staminaku yang kuat dan terlatih mengikuti komando. Sementara Alex terlalu lihai mengemudi. Survivor di bawah sana juga punya keahlian mereka, kau juga seharusnya begitu. Aku mendukung rencanamu, dan sebagai bentuk dukunganku kusarankan untuk tetap mengikuti perintah dan menunggu mereka kembali." Tambah Carlos.
Aku terdiam. Semua yang dikatakannya benar tapi sangat bertentangan dengan perasaanku saat ini.
Carlos bangkit dari kursinya, menegak habis cairan dalam gelas kaleng yang tadi ada di atas meja dan berjalan ke arahku. Dia menepuk pundakku sambil tersenyum menenangkan.
"Tidurlah Mia. Masih ada hari besok untuk membuktikan diri." Katanya.
Aku ingin menatapnya, tapi dia sudah pergi. Suasana terasa hening.
Lakukan apa pun yang menurutmu benar.
Mataku menatap ke arah jendela dapur yang masih mempertontonkan cuaca buruk di luar. Sementara dadaku berdegup kencang.
Harus seperti itu jika kau ingin hidup di dalam ataupun di luar dinding.
Keputusanku menjadi jelas. Dengan langkah lebar yang kuambil, aku pun kembali ke kamar Alex.
KAMU SEDANG MEMBACA
Behind The Rush (Behind The Wall Trilogy #2)
Science FictionKetika tempat teraman di seluruh dunia baru ini tak lagi menjadi tujuannya. Mia Sanders kini berusaha mencari alasan baru untuk bertahan. Dengan usahanya sendiri, Mia ingin membuktikan kalau dia pantas untuk diterima. *** Kepulangan Alex setelah be...