"Hello there, sunshine." kalimat itu diucapkan dengan suara terpelan, sekaligus terlembut yang pernah dilakukan seseorang pada Mia.
Jimmy semakin lemah sejak terakhir kali gadis itu melihatnya.
Matanya nyaris tertutup, sementara deretan giginya terlihat dikala dia memberikannya senyum yang justru membuat air mata menggenangi mata Mia. Semua orang bisa melihat dengan sangat jelas kalau laki-laki itu sekarat."Jangan, aku benci melihat orang-orang menangis. Aku belum mati." dia menggeleng, tangannya terulur ke arah Mia yang berjalan mendekat dan berlutut disebelah ranjang Jimmy, membiarkan laki-laki ringkih itu menghapus air matanya dengan usapan ibu jari.
"It's been a long time since I see you again." bisiknya. "Tentu saja arena WWE kemarin tidak dihitung." dia tertawa tanpa suara. Mungkin mengingat bagaimana kacaunya hari itu. Walaupun Mia tidak menemukan energi untuk tersenyun sedikitpun.
"Jadi kenapa kau tidak tersenyum, Bungaku?" Jimmy mengusap-usap rambut Mia. Senyumnya berbeda dari yang pernah dilihat Mia. Tidak ada kilatan di matanya yang membuat orang takut, atau curiga kalau dia memiliki maksud lain yang tersembunyi dalam kepalanya.
Ekspresi Jimmy yang sekarang sangat teduh, dan justru membangkitkan kembali ingatan menyedihkan Mia tentang sesorang yang meninggal di Mall tanpa ada siapapun yang ingin menggenggam tangannya.
Kesakitan seorang diri. Menghadapi maut tanpa tangisan.
Mia tersenyum dan meraih telapak tangan Jimmy untuk mengecup buku jarinya sebelum Mia menyeka air matanya sendiri, dan berbalik ke arah Jhonny yang masih berdiri di ambang pintu. Memperhatikan tanpa bicara.
Gadis pendiam yang selalu menunduk seperti sedang mencari uang jatuh tiap kali bicara dengan orang lain tersebut, kini menatap langsung mata elang pimpinan kelompok Evidance.
"Ada yang ingin kukatakan yang mungkin akan menarik minat darimu."
Tatapan Jhonny merupakan campuran antara terkejut dan penasaran. Dia melirik ke arah Jimmy yang juga melihat ke arah pemimpin Evidance sambil menggeleng tidak mengerti.
"Apa yang ingin kau lakukan bungaku?" Jimmy bertanya, wajahnya terlihat bingung.
"Aku ingin menagih janjimu, untuk mengabulkan satu permintaanku setelah aku berhasil mengerjakan tantanganmu." jawab gadis itu.
"Dengan Jhonny juga?"
Mia mengangguk, dan berdehem keras sebelum memulai. "Aku sudah memikirkannya baik-baik, aku bersedia jadi bagian rencana Damien."
Kerutan di kening Jimmy semakin dalam sementara Jhonny sulit diprediksi.
"Kelompok ini harus tetap dalam aliansi. Jika kalian terpecah maka apa yang sudah lama diinginkan orang-orang dibalik dinding akan tercapai. Dan dari apa yang kulihat dari pertemuan kemarin, Damien punya sesuatu yang menarik perhatian kelompok dalam aliansi ini. Jika Evidance tidak ikut serta..." Mia melirik Jhonny, "Mereka akan meninggalkan kelompok ini."
Hening.
"Apa ada yang memukul kepalamu?" adalah kalimat pertama Jimmy setelah hening yang menyiksa dengan tatapan yang diberikannya.
"Tidak." jawab Mia ragu.
"Mau kupukul kepalamu, supaya jalan pikiranmu kembali benar?"
"Baron tidak akan meninggalkan kelompok ini selama aku masih hidup, dan Bahrain tidak akan kemanapun jika Baron menetap."
"Kalau begitu aliansi ini tidak akan bertahan lama." bisik Mia, memperhatikan Jimmy yang rahangnya mengatup rapat. Jimmy paham apa yang dimaksudkan oleh Mia. begitu juga Jhonny yang kini melipat kedua tangannya di depan dada sambil menatap lekat-lekat gadis kurus berambut coklat yang ia selipkan di balik telinganya dengan tangan yang bergetar. Di kaki kiri Mia, terdapat gelang yang terbuat dari bel-bel kecil dan berbunyi halus tiap kali dia bergerak menumpukan berat badan ke kakinya yang lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
Behind The Rush (Behind The Wall Trilogy #2)
Science FictionKetika tempat teraman di seluruh dunia baru ini tak lagi menjadi tujuannya. Mia Sanders kini berusaha mencari alasan baru untuk bertahan. Dengan usahanya sendiri, Mia ingin membuktikan kalau dia pantas untuk diterima. *** Kepulangan Alex setelah be...