MIA
Kerasnya suara gebrakan meja yang dihantam dengan telapak tangan membuatku terperanjat kaget. Jantungku serasa akan melompat belum lagi tatapan tidak senang yang dilayangkan Annona saat mengetahui kalau tak ada satupun perkataannya yang benar-benar kudengarkan saat itu.
"Kau ini sedang mempermainkanku ya?"
Sangat cepat, kepalaku menggeleng untuk pertanyaannya hingga leherku sakit.
"Maafkan aku."
"Kau tidak dengarkan apa yang kukatakan tadikan? Ke mana pikiranmu saat ini?" tanyanya menggebrak meja lagi.
Aku menunduk takut. Bingung harus mengatakan apa. Karena rasanya tidak mungkin aku mengaku kalau memang pikiranku tidak sedang bersama Annona saat dia menjelaskan apa yang harus kukerjakan di Evidance ini. Kepulangan Jhonny berarti setengah kompi yang ikut bersamanya ke tempat Baron juga kembali kemari. Markas besar menjadi ramai, dan itu artinya ada lebih banyak orang yang harus disiapkan makanannya setiap hari. Berhubung kondisi pangan kelompok ini masih sangat rapuh, semua survivor dilarang untuk mengambil makanan sendiri dalam gudang persediaan seperti dulu untuk menjaga semua orang agar bisa tetap makan dalam kurun waktu yang dapat diprediksi. Jatah makan mereka dijatah dengan ketat.
"Dengar, aku tidak akan mengulanginya lagi. Hari ini dan seterusnya hingga ada instruksi berbeda dariku, kau yang bertanggung jawab menyediakan makanan. Semua orang harus bisa makan, suplai kita juga harus cukup untuk seminggu ke depan. Ada 156 survivor yang harus diberi makan, pastikan pembagiannya adil dan jangan berikan izin siapa pun untuk memasuki gudang persedian, kau mengerti?!" bentaknya.
"Iya aku mengerti," jawabku cepat
Annona kemudian melemparkan kumpulan logam yang bergemerincing, terseret dipermukaan meja hingga nyaris jatuh kalau tidak segera kutangkap.
"Ambil ini. Lakukan dengan benar dan kerjakan dengan Shon. Aku tidak mau mendengar keluhan dari siapa pun kalau dia tidak dapat jatah makanan. Jika sampai itu terjadi, urusanmu adalah denganku."
Kepalaku mengangguk lagi. menggenggam erat-erat kunci yang dilemparkan Annona kepadaku.
"Bagus." Katanya puas, tidak lagi berteriak, "Selain itu pastikan juga kalau Alex tidak kekurangan apa pun. Dia masih dalam tahap pemulihan dan belum sembuh betul. Jika terjadi sesuatu yang tidak bisa kau tangani, temui aku."
Aku tidak langsung mengangguk dan menyanggupi untuk perintah yang terakhir itu. Bukan karena aku tidak ingin, justru mengobati Alex adalah hal yang ingin kulakukan ketika dia sampai di Evidance dua hari yang lalu. Aku ingin bicara dengannya, membantunya sembuh, tapi dia justru tidak begitu ingin dibantu olehku. Sikapnya terlihat begitu hati-hati padaku, dan setiap bantuan yang kutawarkan dia tolak. Katanya aku tidak perlu memaksakan diri lagi. Aku tidak mengerti apa yang dia maksud, sampai suatu hari aku merenung dan teringat kalau Davin pernah ditahan bersamanya.
Jika Davin memang pernah menceritakan pada Alex semua hal. Dia juga pasti mengatakan kalau aku hanyalah umpan, yang tidak akan pernah mengantarkannya kepada gadis yang ingin dia temui sesungguhnya. Seharusnya aku tidak terkejut dengan perubahan sikapnya ini.
"Kau dengar aku, atau kau melamun lagi?" tanya Annona sambil menarik pengaman hand gun ditangannya membuatku menelan ludah dengan susah payah.
"Aku dengar."
"Dan jawabanmu?"
"Aku ... aku mengerti. " kataku pelan.
Dia mengangguk, menyandar ke punggung kursi kayu yang tengah di dudukinya. Rambut gelap milik Annona terurai indah dibelakang punggungnya, walaupun dia terlihat tidak stabil terutama dengan sepucuk senjata yang sekarang ini dielus-elus seperti anak kucing.
KAMU SEDANG MEMBACA
Behind The Rush (Behind The Wall Trilogy #2)
Science FictionKetika tempat teraman di seluruh dunia baru ini tak lagi menjadi tujuannya. Mia Sanders kini berusaha mencari alasan baru untuk bertahan. Dengan usahanya sendiri, Mia ingin membuktikan kalau dia pantas untuk diterima. *** Kepulangan Alex setelah be...