Chapter 17 : The Reconciliation 2

4.6K 1K 213
                                    

I know, finally? Hehe.
Happy reading.

***

MIA

Genggaman tangan Alex terasa kokoh, dengan ibu jari yang mengusap punggung tanganku lembut, tapi saat aku menatap wajahnya senyumnya terlihat takut-takut, agak berbeda dari senyum Alex yang mengandung kepercayaan diri selangit seperti biasa. 

Aku mencoba mengabaikan perasaan hangat yang ditimbulkan genggaman lembut tangannya, perlahan kepalaku mulai mengingat kembali apa yang dia katakan padaku dan sikap canggungnya saat ini. Mungkin aku bisa membuat suasananya awkward sedikit lebih lama untuk memberinya hukuman.  

Jadi kuputuskan untuk mempertahankan ekspresi datar di wajahku, tidak mengakatakan apa pun, dan tidak membalas senyum yang lebih menyerupai ringisan mengenaskan itu. 

Sambil terus berjalan pelan menuju ruang pertemuan, kudengar dia terbatuk kecil membuatku meliriknya. "Sudah lama aku tidak berjalan jauh dari gedung utama, udaranya segar sekali, ya?" ucap Alex pada sekitar kami yang panas terik, sehingga debu jalanan kerap kali beterbangan tiap diterpa angin sedikit saja. 

Aku tidak menjawab, dan bisa dibilang  itu agak membuatnya gelisah.

"Mm ...," sebelum Alex membuka mulut, aku mendahuluinya.

"Perhatikan langkahmu, Alex. Aku tidak akan kuat mengangkat kita kalau kau jatuh."

Dia menutup mulutnya kembali. "Yes, mam." Jawaban pelan Alex membuatku mengulum senyum.

Pertemuan itu diadakan di ruang terbuka, tepat di depan gedung utama. Ada begitu banyak makanan tersaji di dalam tong dan lempengan-lempengan kaleng lebar yang dijadikan seperti piring. Menyajikan kentang tumbuk, kacang polong, dan beberapa makanan enak lainnya. Di lima perapian, masing-masing ada babi guling besar yang sekarang sudah dipotong-potong dan dinikmati semua prajurit.
Tentu saja semua itu tidak akan lengkap tanpa minuman keras dalam tong-tong kayu.

Entah kenapa pemandangan ini tidak terasa menyenangkan bagiku.

"Semua makanan ini mereka bawa sebagai hadiah. Bisa kau bayangkan betapa kayanya mereka?" Tiba-tiba Alex bertanya retoris, membuyarkan lamunanku. Senyumnya agak meluntur ketika dia melihat ekspresiku. "Tapi kau sepertinya tidak nyaman ada di sini." Tambahnya pelan, yang hanya didengar oleh kami berdua.

Ya, ini semua terasa seperti pernah terjadi. Dan aku tidak bisa berhenti berpikir kalau hal buruk mungkin akan terjadi.

Genggaman tangannya semakin erat, Alex seperti akan menghentikan langkah kami dan mungkin bertanya tentang isi pikiranku. Tapi semua itu terhenti oleh suara Carlos yang memanggil nama Alex. Laki-laki besar itu melambaikan tangannya ke arah kami, terlihat kontras dengan ekspresi Jhonny yang ada di sebelahnya. Di sana juga ada Baron, Ades, Bahrain, dan laki-laki mengerikan yang aku lihat di kamar Alex beberapa jam lalu beserta dua messangernya.  Hampir semuanya ada di sana, kecuali Annona dan Jimmy.

"Senang kau bisa datang di pertemuan malam ini. Bagaimana keadaanmu?" Ades bertanga, menepuk-nepuk punggung Alex yang menyeret tatapannya menjauh dari wajahku. Seolah berkata, nanti kita bicarakan lagi.

Ades merangkul Alex dan membawanya mendekat ke para pemimpin yang duduk di salah satu meja panjang. Tidak ada prajurit lain di sana, yang membuatku merasa kalau tempatku juga bukan di sana. Mungkin aku akan duduk di tempat lain.

Tapi saat pandanganku akan beralih mencari tempat kosong untuk duduk, sudut mataku menangkap tatapan tidak biasa dari orang yang sama yang kutemui di kamar Alex hari ini. Dengan senyum tipis, ia kembali membuatku takut. Ada yang salah dengan orang itu.

***

"Sendirian saja, Sayang?" Punggungku terasa ditepuk lembut, Sandra tersenyum ke arahku, membawakan dua gelas minuman yang tercium cukup menyengat. "Kau tidak kebaratan kutemani kan?"

Aku tersenyum, dan menggeleng. Sama sekali tidak keberatan. Setidaknya keberadaan Sandra membuatku melupakan sedikit hal yang membuatku khawatir.

"Kau tidak duduk di sana?"

Sandra mencebik, dan meneguk sedikit minumannya. "Terlalu banyak Alpha male energy di sana, membosankan." Dia tersenyum.

"Apa yang akan berubah setelah malam ini?" tanyaku. Sambil memandang semua kesenangan ini, semua prajurit kenyang, tertawa. Pemandangan ini pernah terjadi, di Eagle Eye sebelum mereka dilumpuhkan oleh Evidance dalam sekejap mata.

"Tidak ada. Belum." Sandra menjawab, membuatku menoleh ke arahnya. "Malam ini bisa dibilang seperti basa-basi sebelum Damien sampai kepada inti keinginannya. Tapi sepertinya bisa kita tebak, apa yang dia inginkan dari aliansi ini."

Kepalaku mengangguk, mencoba ikut meneguk isi minuman yang diberikan Sandra kepadaku, tapi baru sedikit aku sudah menyesali keputusan itu.

"Aku hanya berharap dia tidak punya tujuan lain yang akan dia paksakan pada aliansi ini, begitu dia bergabung." 

Perkataan Sandra membuatku menoleh ke arahnya, tapi dia tidak sedang melihatku, pandangannya mengarah lurus ke depan, ke arah meja para pemimpin itu berkumpul dan tampak sedang membicarakan sesuatu sambil sesekali tertawa. 

"Tidak ada Jimmy." 

Sandra mengangguk, "Jhonny bilang, Jimmy belum cukup sehat untuk ada di sini."

"Apa dia baik-baik saja?" tanyaku lagi. Sudah cukup lama aku tidak melihatnya. 

Sandra tersenyum tipis, bukan senyum menenangkan seperti yang biasa dia berikan. "Aku tidak tahu, Jhonny tentu tidak akan memberitahuku keadaannya yang sesungguhnya. Bagaimanapun aku bukan dari kelompok Evidance. Tapi aku bisa membayangkan bagaimana kondisinya," ucap Sandra. Tidak ada hal optimis yang bisa kutangkap dari perkataanya. Dan itu membuatku semakin gelisah. 

***

Follow my IG for more update : raatommo

Behind The Rush (Behind The Wall Trilogy #2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang