Ketika Alex terbangun petang itu hal pertama yang dapat dilihatnya adalah Mia yang duduk di kursi kayu, dekat dengan jendela. Memandang senyap ke arah luar sambil membiarkan angin meniup anak-anak rambut yang lolos dari ikatan sederhana di belakang kepalanya. Ditengah cahaya jingga akibat matahari yang akan terbenam, figurnya duduk diam di tengah menjadi siluet yang indah hingga sulit bagi Alex untuk berpaling.
"Kau suka sekali berada di sana."
Mia terlonjak, berdiri cepat hingga tidak dapat mengontrol lututnya yang menghantam permukaan bawah meja dengan cukup keras. Alex yang berbaring, buru-buru bangkit untuk melihat Mia yang sekarang memegangi lututnya sambil meringis pelan.
"Aduh..."
"Kenapa kau ini?" Alex beringsut turun, bergegas menghampiri Mia dan berjongkok di dekatnya. "Baik-baik saja? Bisa berdiri?" Alex berusaha melepaskan tangan Mia yang menutupi lututnya agar laki-laki itu bisa melihat bagian yang sakit. Namun di luar dugaan, Mia justru mendorong tangan Alex menjauh darinya, meskipun tetap dengan cara yang lembut.
"Aku tidak apa-apa, hanya terkejut saja." Mia tersenyum tipis.
"Bisa berdiri? Biar kubantu."
"Alex aku tidak apa-apa, malah kau yang seharusnya tidak bangkit sembarangan seperti tadi. Kalau kau berpijak dengan posisi yang salah, penyembuhan kakimu bisa terhambat."
Alex mendengus remeh, "Aku tidak selemah itu. Pegang tanganku, biar kubantu kau berdiri."
"Tidak us – Alex!" pekik Mia, tertahan, karena sekarang Mia sudah diangkat seperti anak kecil hingga kedua kakinya terangkat dari lantai.
"Turunkan aku."
"Tidak sampai kau mendengarkan. Aku mungkin belum sembuh tapi aku tidak selemah yang kau bayangkan. Aku masih bisa melakukan banyak hal meskipun hanya dengan satu kaki yang sehat. Kau harus percaya, aku masih mampu berlari mengelilingi area Evidance, aku juga masih bisa melakukan ini." Alex melemparkan tubuh Mia lalu menangkapnya lagi seperti bola. Mia terpekik, mendadak merasa sangat dekat dengan langit-langit kamar.
"Alex turunkan aku, sekarang!" seru Mia marah. Suaranya lebih keras.
Alex tersenyum semakin lebar. "Kau marah?"
"Ya, aku marah kalau kau tidak segera melakukan permintaanku." Ujar Mia masih dengan cara yang sama. Ekspresi itu tidak bertahan lama setelah Alex mendekatkan wajahnya untuk berbisik pelan di hadapan wajah gadis itu.
"Aku suka wanita yang memerintah." Dan mencium ujung hidung gadis yang sekarang wajahnya bersemu seperti bunga peony.
"H-hentikan. Tolong turunkan aku." Mia terus mengulangi permintaanya yang tak kunjung dipatuhi.
Alex mengeleng dan memutuskan untuk menggodanya lebih jauh, "Tidak, sampai kau menerima maaf dariku."
"Maaf untuk apa?"
"Untuk semuanya."
Mia terdiam dan justru menjawab, "Alex aku tidak suka diperlakukan seperti kucing!"
Alex terkekeh, "Kau tahu? aku juga masih bisa melakukan ini," laki-laki itu kini mulai berputar sedikit dan mengayunkan tubuh Mia.
"ALEX!" kedua mata Mia tertutup takut.
"Terima maafku."
"Ok, Ok, aku menerimanya." Katanya cepat dan menyerah. Mencengkram tangan Alex yang masih berada di bawah ketiaknya.
Alex berhenti memutar Mia dan mendekatkan gadis itu padanya. Gadis itu reflex mengalungkan tangannya ke leher Alex untuk mencari pegangan yang lebih kokoh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Behind The Rush (Behind The Wall Trilogy #2)
Science FictionKetika tempat teraman di seluruh dunia baru ini tak lagi menjadi tujuannya. Mia Sanders kini berusaha mencari alasan baru untuk bertahan. Dengan usahanya sendiri, Mia ingin membuktikan kalau dia pantas untuk diterima. *** Kepulangan Alex setelah be...