Mia
Matanya kembali tertutup. Napasnya pelan dan teratur saat aku duduk di sebelahnya, mataku tak lepas memperhatikan Alex yang masih belum sanggup terjaga terlalu lama.
Tangannya sudah tidak terlalu kuat menggenggam tanganku seperti beberapa menit yang lalu, tidak melawan ketika kulepaskan dan
kuletakkan di sisi tubuhnya setelah membenarkan selimut yang dia pakai.Aku sudah berhasil meredakan tangisanku, walaupun dada ini masih sedikit nyeri. Bayangan kematian tidak wajar satu-satunya keluarga yang kumiliki terasa begitu menghimpit meskipun Davin dan aku tidak begitu dekat.
Bukan hanya karena terpaut usia yang jauh, tapi juga karena Ibu memasukanku ke asrama khusus perempuan. Agar dapat menghindarkanku dari Ayah seorang mafia berwatak sadis yang sangat suka mengajakku ke manapun dia pergi.
Kami jauh tapi Davine tetaplah keluargaku. Sejak bencana badai matahari terjadi, aku belum pernah bertemu dengannya secara langsung. Dan sekarang, semua itu sudah tidak mungkin lagi.
"Ah, Alex sudah kembali tidur?" Sandra masuk membawa lipatan pakaian kering untukku. Aku tersenyum lemah ke arahnya, dan mengangguk.
"Setidaknya dia sudah bangun tadi. Jadi biarkan saja dia beristirahat lagi," katanya sambil mengusap rambut Alex yang lebih panjang sedikit dari yang terakhir kali aku lihat.
Sandra kemudian tersenyum, lalu berdiri tegak dan berbalik ke arahku. Dia memperhatikanku lamat hingga membuatku merasa kikuk dan menunduk memperhatikan tanktop dan celana jeans buram yang dia berikan kepadaku.
"Kau sudah merasa lebih baik sekarang Mia? Namamu Mia kan?"
Aku menengadah untuk melihat mata birunya memperhatikanku dengan prihatin, "Iya."
Sandra menghela napas, air mukanya tetap lembut seperti ketika dia menatap Alex tadi.
"Kakakmu pasti senang sekarang, karena kau sudah menemukan tempat yang aman."
Aku tersenyum samar dan mengangguk. Walaupun Sandra tidak tahu kalau aku masih harus berjuang agar dapat diterima di tempatku berada saat ini.
Dia mengusap rambutku yang basah, "Sayang, bisa jaga Alex untukku? Kalau-kalau dia bangun dan membutuhkan sesuatu. Aku harus ke bar dan melihat kondisinya. Itu tempat yang ramai, aku takut Cyen kewalahan mengatasinya."
"Iya. Tentu."
"Terima kasih." Dia tersenyum senang lalu berjalan ke arah pintu. Berhenti sebentar untuk mengingatkan jika butuh sesuatu aku bisa mencarinya di bar, sebelum benar-benar melenggang pergi dengan pakaian yang terlihat seperti bikini dan kain transparan yang dijadikannya rok.
Ruangan sepi ketika Sandra pergi.
Aku mengganti pakaianku cepat-cepat di ruangan itu. Lalu menggulung pakaianku tidak jauh dari tempatku duduk.
Jimmy tidak kunjung kembali. Alex juga tidak bangun hingga berjam-jam lamanya. Aku menunggu tanpa melakukan apa pun. Bahkan nyaris tertidur kalau bukan karena Ades yang terlihat kembali masuk.
"Si brengsek yang beruntung," dia terkekeh, "Bahkan saat tidak sadar karna obat bius dan wajah babak belur begitu, masih ada gadis yang menungguinya tidur telanjang."
Mataku tanpa sadar membelalak kaget.
Ades tertawa lagi, "Jadi kau tidak tau dia telanjang di balik selimut ini? Mau kubuktikan?"
Kepalaku dengan cepat menggeleng cepat, "Tolong jangan."
Mungkin menurut Ades kepanikanku adalah sesuatu yang lucu sampai dia terpingkal seperti sekarang ini. Tidak ada tanda-tanda ketegangan sedikit pun di wajahnya seperti beberapa jam yang lalu. Seperti saat anggota Baron mengabarkan kalau ada messenger kelompok Selatan yang berkunjung ke sini. Dan rasanya tidak mungkin jika seorang Ades yang posisinya sama seperti Jimmy di kelompok Jhonny, tidak mengikuti pertemuan penting seperti itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Behind The Rush (Behind The Wall Trilogy #2)
Science FictionKetika tempat teraman di seluruh dunia baru ini tak lagi menjadi tujuannya. Mia Sanders kini berusaha mencari alasan baru untuk bertahan. Dengan usahanya sendiri, Mia ingin membuktikan kalau dia pantas untuk diterima. *** Kepulangan Alex setelah be...