Catatan: Di sini Mia masih belum pakai alat bantu dengarnya. Semua yang dicetak tebal adalah hasil dari
Mia
Suara berdebam pintu besi yang ditutup oleh Carlos menambah rasa gugup yang aku rasakan. Sekarang aku sendirian di ruangan tahanan ini. Bersama Tyaga yang masih menangis pilu. Tersungkur di tempat yang sama dengan tempat duelnya bersama Jhonny.
Tangisan Tyaga entah kenapa berhasil menyayat hatiku, terutama ketika dia terus memanggil Danielle dan Isabell, kekasih dan adik perempuannya yang mungkin tewas karena badai matahari. Tinggal bersamanya dulu membuatku paham, kalau tidak sedikit pun Tyaga menangis karena kesakitan yang dirasakan tubuhnya, dia menangis karena merasa gagal melindungi orang yang berarti baginya. Dia terlihat tidak manusiawi di mata orang yang asing baginya. Menakutkan, tidak punya rasa takut, tidak punya rasa sakit, hanya rasa penyesalan yang menggerogoti pikirannya. Dan menurutku rasa sesal itu lebih menakutkan daripada luka fisik.
Tyaga juga korban, tidak ada penjahat di luar dinding. Semua orang bertindak karena keinginan mereka untuk bertahan hidup. Tyaga hilang akal pun bukan kesalahannya.
Aku berlutut di dekatnya. Mendekatkan lampu minyak yang tadi kami bawa ikut turun mendekat agar aku bisa melihat gerak bibirnya Lama aku memperhatikan karena bingung harus memulai dari mana.
"Tyaga. Ini aku... Danielle."
Laki-laki itu berhenti menangis, perlahan dia mengangkat kepalanya. Darah segar masih mengalir dari hidung, alis, dan mulutnya.
"Danielle?"
"Iya ini aku. Aku baik-baik saja, lihat aku."
"Danielle..." Tyaga terisak, bibirnya mencebik, "Danielle..." dia berusaha duduk, matanya menatapku. Tangannya terangkat pelan. Aku berusaha sekuat tenaga agar tidak meringis ketika tangan itu menyentuhku, mengusap pipiku dengan lembut, meski pun telapak tangannya sendiri sudah sebesar wajahku.
Tak lama pundaknya bergetar, dia kembali menangis tapi tanpa suara. Mulutnya hanya terbuka untuk kembali menyebutkan nama kekasihnya itu. "Danielle, maafkan aku. Maafkan aku, maafkan aku." Dia terus mengulang-ulang kalimatnya. Rasa takut itu perlahan berkurang digantikan dengan rasa kasihan.
Aku menyentuh pundaknya, dan mengalungkan tanganku ke sekeliling lehernya. Memejamkan mata, ketika dia balas memelukku sangat erat hingga udara terasa seperti menghilang dari paru-paruku.
"Aku gagal, aku bodoh. Aku tidak bisa menjagamu. Aku..."
"Aku baik-baik saja," selaku sebelum dia melanjutkan rentetan penyesalannya. "Tidak ada yang perlu disesali. Mereka orang baik, mereka menjagaku," kataku sambil menepuk-nepuk pundaknya untuk mengurangi runtuhan emosi yang saat ini menimpa Tyaga.
Dia menjauhkan tubuhnya untuk melihatku, "Mereka menyakitimu?"
Kepalaku menggeleng, lalu membiarkan dia menyentuh pipiku lagi dengan kedua tangannya. Bibirku memberikannya seulas senyum tegang. Tapi Tyaga sepertinya tidak sadar akan rasa takutku.
"Aku senang." Untuk pertama kalinya, aku merasakan sesuatu yang lain dari tatapan Tyaga ketika mengatakan itu. Meskipun aku tidak yakin, tapi berhasil membuatku membeku sejenak.
"Danielle?"
"Aku... akan mengambil obat untukmu oke? Tunggu di sini," kataku, lalu bergegas bangkit menuju ke pintu keluar. Tyaga tidak mengatakan apa pun.
Ketika aku membuka pintu ruang tahanan tadi, lalu menariknya menutup dan berbalik. Aku nyaris berteriak kalau bukan karena dia membekap mulutku.
"Ssst."
KAMU SEDANG MEMBACA
Behind The Rush (Behind The Wall Trilogy #2)
Science FictionKetika tempat teraman di seluruh dunia baru ini tak lagi menjadi tujuannya. Mia Sanders kini berusaha mencari alasan baru untuk bertahan. Dengan usahanya sendiri, Mia ingin membuktikan kalau dia pantas untuk diterima. *** Kepulangan Alex setelah be...