14. Hujan

75.9K 7.3K 27
                                    

"You are the calm in my storm, you are the light that's guiding me. The only one I see, the only one I need. You're my gravity."

Gravity - Leo Stannard x Frances

***

Setelah sampai hotel, Erky membawa Alta naik dengan menggendongnya, sempat malu karena diperhatikan orang-orang. Beberapa pegawai hotel menyangka Alta pingsan dan menawarkan kursi roda, Rio yang biasanya menghadapi pertanyaan seperti itu.

Baru pertama kalinya ia melihat Alta benar-benar terlelap seperti itu. Setelah sampai di kamar pun dan setelah diletakkan oleh Erky dengan hati-hati di tempat tidur, Alta hampir tidak terusik sama sekali.

Erky menatap Alta yang tertidur sambil duduk di ujung kasur. Tersenyum, lalu hampir bangkit namun Alta menarik baju yang dikenakannya. "Hmm ... " gadis itu mengigau. Ia menatap tunangannya dengan gemas, kalau saja tidak tidur mungkin pipinya sudah dicubit Erky.

Setelah menyelimuti Alta, Erky keluar dari kamar cewek, menutup pintu pelan-pelan. "Kok, keluar? Kirain mau tidur bareng."

Mengabaikan godaan Rio, Erky hanya menguap. Mengganti baju dan pergi tidur. Sendi-sendinya terasa seperti akan copot setelah seharian bermain di pantai. Mungkin hanya berselang beberapa jam sejak Erky memejamkan mata, pintu kamarnya diketuk beberapa kali dengan cepat. Setelah sedikit sadar, Erky melihat ke sekelilingnya. Di queen bed terpisah, terlihat Rio sedang mengucek matanya. Temannya itu menaikkan kedua bahunya ketika Erky menatapnya. Lalu, ketukan cepat itu muncul lagi, "Ka Erky!"

Suara Tari terdengar di balik pintu. "Iya, sebentar," jawab Erky yang sedikit malas, terdengar hujan yang cukup lebat di luar. Barulah, ketika gemuruh besar terdengar dari jendela di belakang Erky, kesadaran datang kepadanya tiba-tiba. Hujan besar? Petir?

Hampir saja terjatuh karena tersandung sesuatu di ruangan yang gelap, Erky berlari, mencoba menggapai pintu secepat mungkin. Setelah terbuka, di sana berdiri Tari yang, tentu saja, masih mengenakan baju tidur, menatap Erky dengan raut wajah cemas. "Alta-"

Erky tidak mendengar lanjutan dari perkataan Tari, ia segera menuju kamar Alta dan Tari, melihat kamar itu kosong melompong. "Aku cari dari tadi gak ada, Ka. Udah setengah jam aku nunggu, aku cari ke restoran juga gak ada yang liat katanya. Handphone-nya juga masih nge-charge di kamar."

"Lemari," gumam Erky, lalu membuka lemari pakaian di samping tempat tidur, nihil.

Suara angin dan petir saling menyahut di luar membuat Erky semakin panik.

"Dua atau tiga tahun lalu waktu hujan besar di Bandung yang masuk berita di mana-mana, aku lagi di luar, baru pulang sekolah, naik motor. Ada papan reklame gede gitu dari besi, runtuh, pas banget di depan aku, kata berita, sih, motor yang di depan aku, pengendaranya meninggal. Kalau aku ngebut dikit, udah mati kayaknya waktu itu. Jadi, habis itu, kalau hujan besar suka takut, diem, sambil gemeteran sendiri. Lebay, ya?" tanya Alta sekitar sebulan lalu sambil tertawa. Kata-kata Alta itu terngiang lagi di telinga Erky.

Jantungnya berdegup tak karuan karena paniknya tak kunjung reda mendengar suara hujan yang terdengar semakin nyaring di telinga. Akhirnya, berpikir bahwa Alta mungkin sedang keluar setelah mencari ke seluruh bagian kamar hotel, Erky, yang masih memakai kaus tidur dan celana piyama, bersiap keluar. Ketika ia berbalik sambil memberi tahu Rio dan Tari bahwa ia akan keluar mencari Alta lagi, Erky tidak sengaja melihat gelas dengan kopi instan, yang belum di seduh di dalamnya, di dekat kompor.

Curiga, Erky berjalan ke arah dapur, menghiraukan pertanyaan dari Tari ataupun Rio. Ia berjongkok di depan kabinet sebelah dishwasher tepat di bawah gelas tadi. "Rio, ambilin headphone gue, sama hand phone Alta di kamarnya sekalian. Tari, tolong pesenin susu coklat hangat, ya?" pinta Erky setelah membuka pintu kabinet tersebut.

Ia menatap Alta yang sedang duduk, menggelung diri dan menyembunyikan wajahnya di lutut. Tampaknya tidak menyadari keberadaan Erky. "Nih."

Rio menyerahkan barang yang diminta, setelah memilih lagu secara acak, Erky menarik kedua tangan Alta, yang sedang menutup kedua telinganya kuat-kuat, lalu meletakkan headphone-nya menggantikan peran tangan Alta tadi untuk meredam suara hujan. Setelah itu, barulah Alta mendongak, dan menatap Erky. Tangannya, perlahan, menggenggam kaus Erky. Berkata pelan di antara suara petir. 

"Hujannya besar." Lalu tersenyum kecil yang kemudian hilang secepatnya datang karena Alta tersentak dan memejamkan mata ketika petir terdengar keras, mungkin masih terdengar meskipun Alta sudah memakai headphone.

"Kalian tidur lagi aja, makasih, ya," ujar Erky, mencoba menenangkan kedua orang, yang terlihat bingung dan khawatir, menatap Alta yang masih duduk, menggelung seperti tadi, hanya saja sudah pindah ke sofa di ruang tengah dimana tidak terlalu banyak jendela. Semua lampu pun dinyalakan, begitu juga TV.

Menatap Alta seperti ini menyiksanya. Hanya bisa menggenggam tangannya sambil menemani Alta menunggu hujan berhenti. Jika saja mereka sudah menikah, mungkin Erky akan memeluknya erat-erat, menciumnya mungkin, agar lupa keadaan di luar. Ia menggeleng, mencoba berhenti berpikir yang tidak-tidak.

Yang jelas, ia tidak ingin Alta terlihat sangat takut ketika Erky sudah berada di sampingnya. Ia ingin melihat tunangannya tersebut merasa aman.

"Maaf."

Erky menatap Alta yang sedang memakan omelet di sisi lain meja. "Kenapa minta maaf?"

"Ya, kamu jadi begadang kaya tadi." Alta tertunduk, terlihat jelas tidak ingin menatap Erky langsung. "Aku juga minta maaf sama kalian, udah bikin khawatir," lanjutnya kepada Rio dan Rio dan Tari.

  "Gak ada yang ingin takut, Alta. Kamu gak perlu minta maaf," jawab Erky sambil tersenyum.

"Yep."

"Iya."

Tanggap Tari dan Rio, menyetujui. "Tapi, Ka Erky tadi keren, loh. Langsung bilang, 'ambilin ini, itu. Pesenin minum', udah kaya yang biasa nanganin. Meskipun pertamanya panik abis," jelas teman Alta itu. Alta mengalihkan pandangannya dari Tari ke Erky yang hanya mengalihkan pandangannya dari Alta sambil merasakan darahnya mengalir naik ke muka.

"Apaan, kirain bakal ada adegan peluk-pelukan, gue udah siapin handphone di saku."

Erky hanya memukul bagian belakang kepala Rio, membuatnya tersedak sereal yang sedang dimakannya. Semua orang di meja, kecuali Erky, tertawa. Ia lebih memperhatikan Alta yang terlihat sedang senang sekarang. Berpikir dalam benaknya, betapa ia tidak ingin melihat Alta ketakutan lagi seperti tadi. Pemandangan beberapa jam lalu membuat Erky seperti menerima tinju di dadanya. Tersadar bahwa ada beberapa hal kedepanya yang tidak akan bisa dicegah oleh Erky.

Namun, dari sekian kemungkinan bencana yang akan menimpa hubungannya, Erky berharap, dan akan mencoba, agar tidak menjadi inti permasalahannya.

Namun, dari sekian kemungkinan bencana yang akan menimpa hubungannya, Erky berharap, dan akan mencoba, agar tidak menjadi inti permasalahannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Alo,

Ada apa dengan Wattpad? Chapter ini, yang sebelumnya sudah di-upload, tiba-tiba menghilang sebagian part nya ;-;

Anyway, terima kasih untuk yang sudah baca, vote, dan add ke daftar bacaan meskipun masih ditunggu komentar dan kritiknya.

WL,

June 25th, 2017

Mita

Sunshower ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang