Prolog

26.6K 1.1K 145
                                    

"Sum!"

Gadis yang mengenakan baju kurung dan hijab berwarna hijau lumut itu menoleh. Senyumnya menampilkan kemolekan paras sang gadis desa.

Kemayu Kusuma. Begitulah kedua orang tua gadis itu menamainya. Mereka memanggil gadis manis itu Sum. Sebenarnya masih banyak nama panggilan yang bisa dicatut dari nama panjangnya. Misalkan, Ema, Ayu atau Uma. Terasa itu lebih pantas untuk parasnya yang elok. Namun entah kenapa Sum menjadi pilihan panggilan bagi mereka. Kata mereka nama itu dipilih karena lebih unik saja.

Sewaktu Sum masih duduk di bangku sekolah dasar, saat materi pengetahuan alam tentang kerangka manusia, dari sanalah ia diolok-olok dengan sebutan sumsum tulang belakang. Sum minta namanya diganti. Tapi mamak dan bapak bersikeras nama itu tetap akan menjadi namanya. Sampai kapanpun.

Sekarang gadis itu di sini, menikmati masa kebebasannya. Sejak lulus sekolah dasar, ia tinggal bersama bibi——saudara bapaknya. Mereka mengangkat Sum menjadi anak dengan alasan karena bibi Sum tak bisa memiliki keturunan.


"Sudah mak bilang, jangan ke sawah! Ini perawan dibilangin!" gemas Mamak Sarti, Ibunda Sum. Saat Sum memaksa ikut mamaknya ke sawah.

"Mamak, di rumah mulu bosen tau." Sum merengut.

"Pulang! Kalo Bapak kamu dateng, habis kamu!"

"Lagian kenapa sih, Mak. Ke sawah doang."

"Kamu gak mikiri kulitmu yang udah menghitam. Liat tu kaki! Itu kaki apa kapal pecah?" tunjuk Sarti pada kaki Sum yang kering dan pecah-pecah.

Sartika Dewi——mamak Sum. Masa perawan dulu adalah masa emasnya karena ia terkenal sebagai bunga desa. Cantik dan berkharisma. Tak ayal, walaupun saat ini fisiknya beralih seperti sebuah gumpalan, ia masih menanamkan aliran perfeksionisme pada Sum. Ia ingin Sum melanjutkan masa emasnya menjadi bunga desa. Sayang sekali, Sum memilih mundur dan tak mau tahu soal penampilan.

Sum mendengus kesal. Ia kemudian pulang dengan menyeret tali kambing yang ia pegang. Hewan berbulu putih yang ia ikat dengan tali itu malah menolak pulang dan menariknya balik. Alhasil, Sum terjungkal. Tubuhnya masuk ke selokan di sisi sawah. Celana longgarnya dipenuhi lumpur sebatas pinggang. Ia segera membersihkan badan ke parit kecil berisi air sedikit yang bening. Mamak berkacak pinggang karena kesal.


"Makanya dibilangi orang tua nurut, Sum."

Sum tak menyahut. Ia melanjutkan aktivitasnya membersihkan diri seadanya.

"Mamaaaakkk!" teriaknya kencang.

"Apalagi, Sum. Ribut mulu!"

Sarti mempercepat langkahnya mendekati Sum. Wanita dengan postur pendek gemuk itu hendak marah lagi pada anak gadisnya. Namun emosinya turun seketika saat melihat sang anak meringis ketakutan.

"Gaya kamu bandel, sama ulat aja nangis."

"Besar, Mak. Ijo muda lagi." Sum gemetaran sambil menunjuk si ulat hijau sementara wajahnya berpaling.

Seorang pemuda dari kejauhan menatap mereka begitu dingin dan kaku.

Adinata Surya Agam. Pemuda yang baru sebulan di Desa Karang Asem. Desa yang berada di kaki Gunung Agung. Adinata terkenal sebagai pemuda angkuh dan sombong. Entah karena sifat kakunya atau mungkin karena sulitnya ia bersosialisasi dengan warga di kampung itu, atau mungkin ucapan dan sikapnya yang pernah merendahkan warga. Entahlah, Hanya Tuhan Yang Tahu. Namun anehnya, para gadis mencoba mendekati. Para orang tua menginginkannya menjadi menantu.

"Mak, itu siapa liatin kita mulu?" tanya Sum.

Mamak berbisik di dekat telinga Sum.

"Kalo kamu dideketin tu anak, kamu lari, Sum."

"Kenapa?"

"Dia anak pemilik semua kebun kelapa di sini. Katanya sih bapaknya pengusaha santan kemasan gitu di pabrik daerah sini."

"Trus?"

"Dia baru sebulan di sini. Jangan terlalu dekat aja sama orang yang baru kamu kenal."

Sum membentuk bibirnya menjadi huruf O. Ia mengangguk segera.

Bukannya aku juga orang asing di sini, Mak? Hanya saja statusku masih anak mamak sama bapak.

Cukup di hatinya yang berbisik. Sum tak mau melihat mamak murung dengan ucapannya itu.

Ganda Adrian Jaya. Pemuda tampan dengan tubuh tegap berjalan dengan menunduk santun dengan senyum manis dan sikap ramahnya menyapa orang-orang di sekitarnya.

Sum menatapnya dan berkedip perlahan. Tatapan mereka tak sengaja saling bertemu. Ia memegang dadanya. Jantungnya berdegup kencang. Mungkinkah ia jatuh cinta untuk pertama kalinya.

Ya Allah, di bawa ke mana sebagian hatiku sama dia? Saat dia menjauh, sebagian hatiku malah seakan hilang ngikutin dia.

"Anak perawan melamun!" pekik Sarti.

"Mamak lagi! Ganggu mulu kerjaan, kesel!"

"Dia siapa, Mak?" tunjuk Sum pada pemuda yang lewat tadi.

"Itu Ganda. Kakak kelas kamu dulu. Kamu inget, gak?" Sum menggeleng cepat, "Anaknya baek bener, sopan, ramah, cerdas lagi. Jempolan gede dah buat dia.

"Mamak gak cerita dia anak siapa?"

"Intinya dia anak orang kampung sini. Bapaknya punya banyak sawah sama ladang. Dia kuliahnya di luar negeri," jelas lengkap sang mamak.

"Luar negeri? Di mana, Mak?"

"Di Jakarta."

"Lah, Mamak. Itu masih Indonesia raya. Luar propinsi kali."

"Negeri orang maksudnya."

Sarti dan Sum terkekeh pelan.

Diam-diam Sum menyukai pemuda bernama Ganda. Ia tersenyum saat melihat pemuda itu berlalu di depan rumahnya.

Ia menjalani harinya kembali. Tanpa ia sadari, ada satu hati tengah menunggu hatinya terbuka untuk dirinya.

Lalu, siapakah yang akan menjadi pilihannya nanti??

°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°
Bersambung.
_________________________

Situbondo, 17 Juli 2017

Napas SurgaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang