9. Pameran

5.1K 468 24
                                    


"Aku gak tahu kalo di desa ini juga ada pameran," ujar Sum. Ganda tersenyum mendengar ucapan gadis itu.

"Itu juga untuk mendongkrak pendapatan warga."

Sum menoleh pada sang tunangan. Ia pernah dengar kalau Ganda adalah sosok di balik semua ide-ide kreatif di desanya.

"Apa ini juga bagian dari ide Mas Ganda?"

"Menurut kamu?"

Sum mengangkat bahu. Ia lebih memilih asik memandangi barang-barang yang dipamerkan. Layaknya pameran seperti biasa, lapangan dekat balai desa itu disulap menjadi pameran. Untuk mengantisipasi perubahan cuaca tiba-tiba seperti panas atau hujan, panitia sudah melingkupi lapangan dengan tenda berukuran besar. Tentunya hal itu subsidi dari pemerintah daerah dan sumbangan warga.

"Bagus, Mas," ujar Sum. Setelahnya, ia meraba barang-barang unik kerajinan warga. Beberapa berisi kebutuhan rumah tangga dalam nuansa desa seperti tempat nasi dari rotan, anyaman bambu, seni gerabah dan banyak lainnya.

"Kita punya kekayaan ini di desa, Sum. Sayang sekali kalo gak dimanfaatkan. Bukan hanya nilai tradisionalnya, tapi juga dari segi amannya untuk dipakai. Daripada menggunakan barang-barang berbahan plastik, ya 'kan?"

"Aku pikir di sini juga ada seninya, Mas." Ganda mengangguk.

Pemuda itu mengerti bahwa walaupun gadis desa yang polos, Sum terlihat sangat cerdas dalam menilai sesuatu.

"Ini sebagai bentuk motivasi agar warga bisa memanfaatkan kekayaan alam yang ada, Sum."

"Sum pikir juga bisa sebagai tambahan penghasilan buat warga, Mas."

"Betul sekali."

Ganda dan Sum terkekeh pelan. Obrolan ringan itu menambah kedekatan mereka.

Setelah lama puas melihat barang-barang yang dipajang, Ganda memberikan Sum sebuah cincin berbentuk bunga matahari dari kerajinan batok kelapa yang diukir sedemikian rupa.

"Cantik." Sum tersenyum memandang lekat benda mungil itu. "Makasih ya, Mas Ganda." Ganda mengangguk sembari tersenyum.

Setelah puas menikmati suasana pameran desa, mereka menjejakkan kaki keluar areal pameran. Tak henti-hentinya Sum tersenyum. Ganda pun tersenyum lebar melihat Sum senang. Sementara dari kejauhan Rista tengah murung melihat keduanya.

Sum, dia milikku.

Ponsel Ganda berbunyi dari dalam saku celananya. Ia pamit sebentar menjauhi Sum untuk menerima panggilan. Sum mengangguk. Ganda menjauh dengan mimik serius. Ia berbicara dengan seseorang di seberang telepon. Sum memilih duduk di sebuah bangku panjang di bawah pohon asam dekat lapangan.

Tiga puluh menit berlalu. Ganda belum juga kembali. Sum celingukan menatap sekeliling. Ia baru menyadari Ganda menghilang dari pandangannya. Sum beranjak dari tempat duduk dan mulai mencari keberadaan tunangannya itu. Dari kejauhan, ia melihat Ganda bersama Rista. Entah apa yang sedang mereka bicarakan. Sum dengan langkah perlahan mencoba mendengarkan pembicaraan mereka. Ia tahu Rista tak begitu menyukainya walaupun mereka bersahabat.

"Lalu apa maumu sekarang?" tanya Ganda dingin.

"Kamu. Aku mau kamu!" tegas Rista.

Ganda menggeleng pelan. Ia tak mau menghiraukan ucapan gadis itu lagi dan segera berlalu. Ganda terperangah saat melihat Sum di depannya.

"Sum?"

Sum tersenyum polos. "Ayo Mas pulang, sudah siang. Mamak pasti nunggu Sum." Ganda mengangguk.

Ganda menoleh sejenak ke belakang memperhatikan gadis cantik di belakangnya itu.

Dari kejauhan seorang pemuda tengah memperhatikan drama mereka. Ia nampak acuh dan terdiam sejenak. Entah sekelebat pikiran darimana, ia tersenyum sarkastis.

Napas SurgaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang