Malam itu Sunarto dan Hartono pulang dari kota ke desa menaiki mobil pick-up yang mereka sewa setelah menjual hasil bumi dari desa. Mereka adalah para tengkulak hasil bumi desa. Saat mereka melewati sebuah jalan berbatu, Sunarto melihat seorang wanita menggendong seorang bayi yang tengah menangis. Wanita itu nampak kebingungan."Kita turun, Hartono," ajak Sunarto. Hartono mencekal tangan Sunarto.
"Jangan, itu modus. Bisa-bisa kita dirampok."
"Niat kita baik, No. Kalo orang niat jahat, urusan mereka sama Allah nanti."
Sunarto turun dan mendekati si wanita. "Ada apa ini, Mbak? Kenapa anak ini menangis?"
Bibir wanita itu bergetar. Permukaan wajahnya basah, wanita ini menangis.
"Bolehkah saya minta bantuan?" tawar wanita itu. Hartono segera turun dan melihat wanita itu. Ia merasa iba.
"Apa itu?" tanya Hartono.
"Aku ingin menitipkan anakku ini pada kalian. Suatu saat nanti aku akan menjemputnya."
Saat melihat paras bayi dalam gendongan wanita itu, entah mengapa Hartono merasa menyayanginya terlebih ia dan istri belum dikaruniai anak. Hartono menerima bayi mungil itu dengan senyum sumringah.
"Apa kamu percaya pada kami?" tanya Sunarto.
"Aku yakin kalian orang baik-baik. Aku hanya ingin menitipkan, bukan menyerahkan."
"Kau bisa mengambilnya kelak."
"Terima kasih, Mas."
Mereka mengangguk paham. "Ini alamat kami." Sunarto meraih bolpoin dan kertas kecil di saku kemejanya dan mencatat alamat mereka.
Wanita itu membacanya sekilas dan menyimpannya dalam saku baju.
"Sekali lagi terima kasih." Mereka kembali mengangguk dan pergi. Melaju bersama pick-up yang mereka tumpangi.
Mata wanita itu mengekori arah kepergian pick-up. Ia menangis sesenggukan. Berat nian terpisah dari tautan hati setelah sebelumnya ia kehilangan suami tercinta. Jejak bayangan anak dan sang suami perlahan hilang dari kedua kelopak beningnya. Saat mobil itu menghilang dari kejauhan, ia menatap nanar ke atas langit.
"Tuhan! Sudah cukup drama ini. Biarkan aku menjalani kehidupanku menurut aturanku sendiri," gumamnya dalam keheningan.
"To, kita gantian ngurus anak ini," pinta Hartono.
"Baiklah, setelah lulus SD atau SMP, kau bisa membawanya ke rumah."
—★—
Sum meletakkan semua piring kotor dan mencucinya.
"Sudah, Sayang. Sebaiknya kau diam saja. Santai di rumah," ucap Mishall.
"Aku terbiasa dengan pekerjaan rumah."
"Panggil aku mama, Shakila."
"Siapa Shakila?"
Mishall mendekati Sum dan mengusap puncak kepalanya pelan. "Namamu adalah Shakila Urelia Mishall. Itu pemberian dari papamu."
Sum menoleh, "Namaku Sum."
"Aku mohon turuti permintaan mamamu ini, Anakku. Shakila adalah sebutan papa untukmu dulu. Saat menggendongmu, ia sering menyebutmu dengan nama itu," ujar Mishall tersenyum sendiri mengenang masa indah itu, "Papamu menggendongmu dengan menyebut nama Tuhan. Dia ingin kamu menjadi gadis baik yang dicintai Tuhan."
Sum terdiam. Ia hanya tak mengerti mengapa cerita kehidupannya selalu berubah seketika. Seolah takdir begitu senang bermain dengan hidupnya. Merubah suasana kehidupannya begitu cepat. Sekarang, ia bersama wanita asing dan mengaku sebagai ibu kandungnya. Gadis itu hanya tak habis pikir, setelah ini takdir akan membawanya ke mana lagi.

KAMU SEDANG MEMBACA
Napas Surga
SpiritualCantik dengan fisik mendekati sempurna tidak menjadikannya sebagai gadis penyuka kosmetik dan fashion. Kemayu Kusuma, si gadis polos yang menyimpan banyak luka di hatinya. Pengalaman masa lalu membuatnya harus menutup semua cerita. Namun satu kebias...