Gunung Agung menjadi saksi bisu pagi itu. Matahari sudah mengintip dari balik arakan awan pagi. Semilir angin dingin menerpa setiap bulu halus di permukaan kulit.
Kemayu Kusuma—si gadis desa, merentangkan kedua tangannya menghadap ke arah matahari terbit pagi itu. Menatap cahaya merah merekah. Merasakan kedahsyatan cahaya perawan sang mentari.
"Suuum!"
Dari kejauhan Mamaknya memanggil. Sum tersenyum dan berbalik. Ia menjejakkan setiap langkahnya pada pematang sawah. Tangannya mengibas setiap ilalang yang bergoyang gemulai terkibas angin. Langkahnya seolah berdendang keceriaan. Merasakan kebebasan setelah kebas lama yang ia rasakan.
Masa itu-
Masa di mana kebebasannya terenggut. Masa di mana kemurungan menerpanya setiap saat. Remang. Getir. Yah, hanya Sum yang bisa mendeskripsikannya.
"Ada apa, Mak?" tanyanya pelan.
"Mamak cariin dari tadi. Setelah sholat shubuh kok malah ilang," omel sang mamak.
Sum tersenyum. Ia tidak akan sakit hati mendengar apapun dari wanita yang melahirkannya itu. Begitu pikirnya-
"Ayo pulang!" ajak Sarti.
Sum mengangguk sambil tersenyum polos. Ia mengikuti di belakang sang mamak.
Mereka tiba di rumah beberapa menit kemudian. Sesampainya di rumah, Sum membantu Sarti memasak dan membersihkan rumah.
Setelah lulus sekolah menengah atas, Sum lebih sibuk di rumah. Membantu pekerjaan rumah dan beberapa kali membantu pekerjaan di sawah.
Ia memiliki dua adik laki-laki dan satu perempuan. Mereka sudah duduk di bangku sekolah menengah pertama dan yang lain masih di sekolah dasar.
"Sum, bantuin bapak ke sawah," pinta sang bapak.
Sum mengangguk sembari tersenyum datar. Entah kenapa, ia merasa sang bapak mempunyai jarak darinya. Jarak yang mungkin hanya Sum yang bisa merasakannya.
Sum melangkahkan kaki membawa makanan ke sawah seperti pinta Hartono.
Sum meletakkan barang bawaannya di atas warung sawah. Ia memanggil pekerja sawah untuk makan siang itu.
Semua bergegas menghentikan aktivitasnya dan meraih bungkusan makanan yang Sum bawa.
Hartono hanya mengawasi mereka sembari berkacak pinggang. Sesekali ia berjalan menghampiri semangka yang sudah mulai membesar dan akan siap panen.
"Pak, Sum pulang dulu, ya?"
Hartono hanya mengangguk tanpa melihat wajah Sum. Sum melangkah pulang. Sesekali ia menoleh melihat Hartono. Tak sekalipun sang bapak memperhatikannya. Sum hanya mencoba memaklumi.
"Mungkin bapak capek," lirihnya.
Ada rasa getir yang terkadang menjalar di hati saat Sum melihat sang bapak begitu perhatian pada ketiga adiknya. Mereka sangat akrab. Ia sampai berpikir, apakah dirinya bukanlah anak dari sang bapak? Namun akte kelahiran Sum menyatakan, dia anak dari Sartika dan Hartono.
Sikap sang bapak selalu meninggalkan bekas tanda tanya yang segera ia hempaskan karena takut dirinya malah berburuk sangka pada sang bapak.
Sesampainya di rumah, Sum mendekati Sarti yang tengah sibuk melipat baju. Ia duduk dengan pelan di dekat sang mamak. Sarti melihatnya penuh tanda tanya.
"Ada apa, Sum?" tanyanya.
Sum tersenyum dengan memicingkan kedua kelopak matanya. Ia menggigit bibir bawahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Napas Surga
SpirituellesCantik dengan fisik mendekati sempurna tidak menjadikannya sebagai gadis penyuka kosmetik dan fashion. Kemayu Kusuma, si gadis polos yang menyimpan banyak luka di hatinya. Pengalaman masa lalu membuatnya harus menutup semua cerita. Namun satu kebias...