7. Batal

5.5K 542 17
                                    


"Jangan kasar sama perempuan!" sergah Ganda sembari menahan pergerakan tangan Rio yang hendak memukul Sum.

"Siapa kamu!? Gak ada urusan ya? Dia ini tunangan aku!" teriak Rio mengarahkan pukulannya pada Ganda.

Sum menjerit sembari menutup kedua telinganya. Ia ketakutan. Lama ia terdiam melihat Ganda dan Rio yang saling menahan pergerakan masing-masing. Sederetan bayangan luka dalam pecahan kenangan berputar di benaknya. Ia sudah terlalu banyak mengalah. Batinnya menjerit. Dengan sedikit kekuatan ia memekik. "Pergi! Pergi kalian!" Keduanya terhenyak. Bisu.

"Sum?" Rio mencoba mengajak berbicara pada tunangannya yang sedang dilingkupi emosi.

"Pergi! Pergi! Mulai sekarang kita sudah bukan tunangan lagi!" teriak Sum.

Rio mendekati Sum yang mulai kalap. Sum masih berteriak mengusirnya. Akhirnya ia mengangkat kedua tangan dan pergi. Sementara Ganda hanya bergeming menatap nanar pada Sum.

Hari itu Rio ke rumah Sum dengan tergesa-gesa. Laki-laki itu mengajak Sum jalan-jalan ke taman di pinggir kota. Walaupun enggan, Sum menurut juga demi keluarganya—terutama sang bapak.

Rio meminta Sum untuk meminta maaf padanya. Tentu saja Sum marah dan menolak dengan tegas. Dan akhirnya pertengkaran pun terjadi sampai Rio berniat memukul wajah Sum dengan alasan efek jera. Nasib baik bersama gadis desa itu, Ganda yang juga berada di sekitar sana, tak sengaja melihat Sum dan berlari mendekatinya. Ia mendengar Sum mengaduh kesakitan dan menangis. Saat tangan Rio hendak menghampiri wajah mulusnya, Ganda sudah lebih dulu mencegahnya.

Sum berlari menjauh dalam amarah. Ia menangis sesenggukan menuju ke tempat biasa. Warung bambu di ladangnya. Ia masih saja menangis.

Ganda mencoba mendekati. Pelan-pelan ia melangkah ke arah Sum.

"Sum?" ucapnya hati-hati.

Sum tak menyahut. Ia masih saja menangis. Ganda mendekatinya; menjulurkan tangan seraya mengusap lembut kepala Sum. Namun Sum menjauh.

"Ada apa? Kenapa kamu menangis? Bukankah kamu sudah memutuskan pertunangan itu?"

Gadis itu menggeleng pelan. Masih dengan isakannya.

"Gak pa-pa, Mas." Sum segera menghapus air matanya perlahan dan bergerak menjauh. Ia menuju arah pulang. Ganda menghela napas perlahan melihat gadis itu selalu menjauh darinya.

—★——

"Apa-apaan kamu, Sum!?" bentak Hartono.

Sum tetap bergeming. Ia rasa percuma mengatakan alasannya pada sang bapak. Gadis itu memilih bungkam. Satu tujuannya, ia hanya ingin lepas dari pertunangan itu.

"Jawab!!" Kali ini sang bapak benar-benar murka karena Sum hanya diam saja bagaikan batu.

"Maafkan Sum, Pak. Sum hanya berpikir pertunangan itu hanyalah acara yang sia-sia," jawab Sum sekenanya.

"Sia-sia?? Apa maksud kamu?"

"Hubungan ini hanya akan menjadi sia-sia, Pak. Hubungan yang dilandasi karena harta hanya akan menjadi bencana. Aku ingin nantinya menikah bukan karena harta."

Gadis itu berharap sang bapak mengerti walaupun dalam hati kecilnya ia tak begitu yakin.

"Tahu apa kamu soal pernikahan?" tanya Hartono dingin dan menusuk.

Sum tak lantas menjawab. Ia bingung harus membuat argumen apalagi. Ucapannya hanya akan menjadi isapan jempol karena gadis itu sendiri belum berpengalaman soal pernikahan ataupun tentang kehidupan rumah tangga.

Sebulir air matanya jatuh. Ia hanya tertunduk cukup lama.

"Assalamu'alaikum ...."

Sum dan Hartono menoleh ke arah pintu. Ganda sudah berdiri di ambang pintu. Hartono menormalkan ekspresi wajahnya saat tahu siapa yang datang. Ganda dikenal sebagai pemuda terpelajar yang baik dan dari keluarga terhormat. Walaupun bukan penduduk asli, tapi sikap empatinya terhadap warga desa patut diacungi jempol. Kepala desa juga seringkali meminta bantuannya dalam hal membenah desa. Tak ayal banyak warga desa yang menjadikannya kandidat calon kepala desa yang baru. Ide-ide kreatifnya dalam membangun desa membuat banyak warga berdecak kagum.

Napas SurgaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang