14. Tasbih

4.4K 498 21
                                    


"Langit yang tujuh, bumi, dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tidak ada sesuatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu tidak mengerti tasbih mereka. Sungguh, Dia Maha Penyantun, Maha Pengampun."

(QS. Al-Isra': Ayat 44)

※♡※

Sum menutup pintu kamarnya segera. Ia melempar tubuh ke atas tempat tidur dan menatap langit-langit kamar cukup lama. Bagaimana bisa ucapan sang sopir taksi tadi begitu mempengaruhinya. Bukankah ini bukan urusanku?

Pintu kamarnya diketuk dari luar. Sum segera beranjak dan membuka pintu. Mishall sudah berdiri mematung di depannya. Keberadaannya di tempat siang itu diketahui oleh sang mama. Mishall terlihat bingung. Namun juga terpatri sekilas emosi yang samar di wajah cantiknya.

Mishall mengajak Sum malam itu duduk di teras belakang rumah. Hamparan taman kecil mengembuskan semilir angin yang tak mereka hiraukan. Sejenak mereka sama-sama terdiam.

"Apa begini pendidikan yang diberikan orang desa padamu, Shakila?"

"Yah," sahut Sum singkat.

"Kamu bukan anak kecil lagi. Apa gunanya harus mengekori pekerjaan orangtua? Kamu tinggal senang-senang aja. Urusan cari uang biar mama yang atur. Kamu gak perlu urusi itu."

Sum bergeming. Ia ingin mendengar banyak hal yang akan dikatakan oleh wanita itu.

"Apakah aku salah menitipkanmu pada orang desa itu?" keluh Mishal sembari menggelengkan kepala pelan seperti sedang menyesali sesuatu. Sum tercekat dan menoleh pada sang mama.

"Harusnya mama bersyukur. Aku pernah hidup dan dididik oleh mereka. Belajar ngaji di sana gratis dan mudah. Aku pernah mengenyam ilmu agama dari mereka. Dan yang jelas, aku tahu mana yang halal dan haram," tandas Sum.

Mishall tak menjawab. Ia tercekat dengan anak di sampingnya itu. Namun kembali lagi, wanita itu mencoba bertahan demi sebuah pengakuan bahwa ia adalah ibu dari gadis di sampingnya. Namun setelah ia pikir ulang hal itu tak bisa dibiarkan. Sum atau Shakila sudah kelewat batas mencoba menguntit apa pekerjaannya.

"Shakila! Jaman sekarang mana ada halal haram!? Yang ada adalah kita bisa makan dan hidup!" pekik Mishall yang mulai terjalar emosi.

Sum tetap tenang dan hanya menanggapinya dengan senyum miring, "Banyak orang yang tetap bisa makan dengan rejeki halal, Ma. Mereka toh hidup. Bisa bertahan dengan semuanya."

Mishall tahu bahwa anak gadisnya itu begitu beku dan acuh. Ia harus lebih tenang menghadapi Sum. "Lalu apa maumu sekarang, Nak?"

"Aku gak mau apa-apa. Besok aku cari kerja dengan rejeki halal."

Sum malas berdebat. Ia melangkahkan kaki cepat ke kamarnya. Mishall mendesah mengingat betapa keras kepalanya sang anak.

—★—

Siang terik kala itu benar-benar menyengat setiap permukaan kulit. Sum kelelahan berjalan. Ia menoleh ke kanan dan kiri mencari sebentuk jalan guna mencari kerja. Sebuah mobil mewah berhenti tepat di sampingnya. Sum melirik malas dan melanjutkan langkah kaki.

"Sayang, jangan keras kepala begini. Ayo ikut mama, Nak!" teriak Mishall dari dalam mobil.

Sum tak menyahut dan terus melangkah pergi. Mishall keluar dari mobil dan menahan pergerakan lengan anak gadisnya itu. Sum malas berkilah. Akhirnya ia pasrah dan mengikuti sang mama masuk ke dalam mobil.

"Maafin mama semalam, Nak." Mishal menatap lembut Sum. Ia seolah sedang berpikir sesuatu, "Begini saja, mama akan mengajakmu ke sana. Jiwa mudamu pasti penasaran dengan keadaan di dalamnya. Tempat itu tak seburuk yang kau pikirkan," jelas Mishall. Mobil melaju dengan perlahan.

Napas SurgaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang