"Usia kamu sudah 28 tahun, Nat. Nunggu sampai usia berapa mau nikah?"Adinata memilih tak acuh dan berkata dengan santai, "Papi gak usah khawatir. Itu semua Nata yang urus."
Sohibintoro-sang papi, kali ini mendengus kesal. "Gak bisa gitu, Nat. Anak papi cuma kamu. Siapa yang akan nerusin usaha papi kalo kamu sendiri belum nikah dan gak punya keturunan!"
Nata tersenyum miring. "Pi, cowok itu sampai jadi kakek sekalipun masih bisa punya anak." Adinata berlalu tanpa menggubris lagi ucapan sang papi. Meninggalkan Sohibintoro yang berkacak pinggang seraya menggeleng pelan.
Pemuda itu melangkahkan kakinya menuju lantai atas. Dalam setiap jejak, ia berpikir keras tentang hidupnya. Umur 28 tahun memang bukan lagi usia remaja. Sudah saatnya ia harus memikirkan masa depan kehidupannya. Adinata berpikir cukup pelik. Haruskah ia masih menunggu gadis itu? Gadis yang selama ini hadir dalam setiap doa dan angannya. Rasanya mustahil jika ia harus memilih gadis lain. Hatinya telah terisi oleh bidadari impiannya.
Hatiku telah termiliki oleh dia. Dia yang masih berkelana bebas mencari jati diri. Suatu hari nanti aku akan menangkap dan menyeretnya ke depan meja penghulu dan bersumpah setia menjaga hidupnya. Adinata tersenyum semringah saat beberapa puzzle cerita dan kenangan bersama gadis itu berkelebatan dalam ingatannya.
Dia milikku, dan hanya milikku. Aku sudah meminta pada Tuhan agar menjadikan dia milikku. Bukankah Tuhan sudah menjanjikan akan mengabulkan setiap doa yang baik?
Adinata menyesap teh hijau kesukaannya. Ia suka aroma dari teh tersebut. Jemarinya kembali berkutat dalam tut laptop. Benaknya bergerak menjelajahi kenangannya kembali bersama gadis itu.
"Kenapa harus dia yang jauh di sana sebagai pemilik hatiku? Aku tahu penantian ini takkan sia-sia," lirihnya sambil menyesap teh di tangannya.
Ada kerinduan yang bersarang. Ada rasa yang hampir mati saat ia mengingat sang gadis yang terasa jauh. Adinata melipat tangan yang ia lekatkan pada bahu kursi dan kepalanya bersandar nyaman pada tangannya. Matanya terpejam cukup lama merasakan embusan angin semilir.
Senja itu ... ia bertemu sang gadis dengan wajah manisnya. Dalam senyum itu, sebenarnya sang kalbu tengah bergemuruh keras menahan setiap rasa yang tertanam.
"Andaikan kau telah halal, rasanya ingin segera tangan ini merengkuhmu. Tapi tunggu saja waktunya, Gadisku."
-★-
"Besok?" Alis Sum terpaut. Bi oma mengangguk, "Baiklah, Bik. Besok aku akan datang lebih pagi ke sini untuk membantu nyonya membuat kue."
"Gak usah, Sum. Nyonya sudah memesannya ke katering langganannya," kilah Bi Oma.
"Yah, padahal sayang banget."
Bi Oma berpaling dan menatap gadis di sisinya, "Kenapa emangnya?"
"Sum kan bisa buat kue, Bi. Dulu di kampung kalo ada orang hajatan, pasti Sum paling di depan bantuin mamak buat kue." Bi Oma cekikikan seraya menutup mulutnya karena geli.
"Kue apa?" Sepertinya Bi Oma bukan niat bertanya, tapi sekedar menggoda Sum. Kue apa kira-kira yang bisa gadis itu buat. Bi Oma menyangsikan itu.
Sum mengetukkan ujung jari telunjuk pada bibirnya. Ia tengah berpikir, "Kue apa aja. Emangnya ada yang beda, kue orang desa sama orang kota, Bik?"
Bi Oma mengangguk pelan. "Sebagian beda, sebagian sama."
"Kalo cuma buat hidangan, Sum bisa buat kok." Sum mencoba meyakinkan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Napas Surga
SpiritualCantik dengan fisik mendekati sempurna tidak menjadikannya sebagai gadis penyuka kosmetik dan fashion. Kemayu Kusuma, si gadis polos yang menyimpan banyak luka di hatinya. Pengalaman masa lalu membuatnya harus menutup semua cerita. Namun satu kebias...