3. Acara Desa

7K 568 6
                                    


Pagi itu Sum berjalan riang. Langkahnya menuju arah balai desa. Hari ini desa mengadakan acara tasyakuran atas hari jadi desa. Setiap setahun sekali balai desa akan merayakannya dengan mengisi berbagai hiburan dan lomba-lomba.

Mamak sama bapak serta adik-adiknya sudah berangkat lebih dahulu. Sum memilih berangkat paling belakang. Ia masih membereskan rumah dan sebagainya.

"Sum!" Sum menoleh.

Hatinya bergetar seiring langkah kakinya yang juga berhenti. Pemuda tampan dari desa itu memanggilnya dengan lembut. Sum tertunduk malu.

"Ada apa, Bang?"

Pemuda itu tersenyum sambil menggelengkan kepalanya pelan.

"Jangan manggil abang kenapa, Sum? Panggil aja mas atau Ganda sekalian."

Kening Sum mengkerut tanda tak mengerti. Apa salah dengan panggilan abang.

"Ada yang salah?" tanyanya singkat.

Pemuda itu kembali tersenyum.

"Gak ada yang salah."

"Lalu kenapa gak boleh?"

"Yang salah itu rasa."

Sum semakin tak mengerti. Pandangannya menyapu sekeliling mereka. Sum pikir mungkin ada jin lewat merasuki pikiran abang di depannya. Bagaimana mungkin rasa itu salah? Manis, asam, asin dan pahit. Bukannya semua sudah menempati tempatnya masing-masing.

"Sejak kapan rasa itu salah?" tanya Sum lagi.

Ganda terkekeh pelan dengan kepolosan gadis di depannya. Ganda menjulurkan tangannya hendak mengambil tumpukan kain hijab yang  terhempas angin dan menutupi wajah gadis itu dan hendak menyampirkannya ke sisi samping, namun Sum keburu memundurkan wajah. Gadis itu berdeham. Ganda seketika tersadar dan mengucapkan maaf dalam lirihnya.

"Gak ada yang salah dengan rasa. Aku hanya merasa jadi abang becak, abang ojek dan macam abang yang lain, Sum."

Sum tersenyum samar. Bagaimana bisa pemuda di depannya itu hanya menjawab rasa itu saja, ia harus berpikir ragam jenis indera pengecap segala. Sum mengangguk pelan.

"Baiklah, aku panggil mas saja. Gak sopan jika harus manggil Ganda. Mas lebih tua dari aku. Tentunya aku harus lebih sopan."

Ganda meng-iyai saja dengan anggukan pelan.

Mereka berjalan beriringan menuju balai desa. Sum tetap menjaga jarak, ia hanya tidak mau ada gosip atau fitnah yang bisa saja melandanya. Sepanjang perjalanan, Sum lebih banyak terdiam. Sementara Ganda memilih asik bersiul.

Sepanjang perjalanan mereka seolah sibuk dengan pikiran masing-masing.

"Mas Ganda!" teriak seseorang di belakang mereka. Serempak mereka menoleh.

"Rista?"

Ganda menautkan kedua alisnya melihat gadis itu setengah berlari menuju arahnya. Mulut Ganda seketika terbuka lebar saat ia melihat ujung kaki gadis itu tak sengaja menabrak bongkahan batu besar di tepi jalan, "Awas!!"

Telat! Gadis itu sudah terkapar tak berdaya di tanah.

Seperti Ganda, Sum pun menghentikan langkahnya melihat Rista. Ganda segera berlari membantu Rista berdiri. Sum hanya melongo. Bukannya membantu, ia malah tersenyum geli seraya menutupi mulutnya dengan tangan.

Ganda membantu Rista berjalan dan mendekati Sum.

"Kamu ngapain, Rista?" tanya Sum berniat menggoda sang sahabat.

"Lagi show up!" jawab Rista dengan nada ketus. Sum mulai cengengesan.

Mereka bertiga melanjutkan perjalanannya yang sudah hampir dekat. Rista masih berjalan tertatih-tatih hingga Ganda harus bantu memapahnya.

Napas SurgaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang