4. Keterpaksaan

6.1K 595 36
                                        


"Apa-apaan kamu, Sum!?" bentak Hartono.

Sum tak lantas menyahut. Ia memilih bungkam dan menundukkan wajahnya pilu. Mamak yang sedari tadi diam ikut angkat bicara.

"Sum masih muda, Bang. Dia masih baru lulus sekolah. Mana bisa dia menikah?" ucapnya mencoba tenang.

"Diam kamu! Kamu tahu, mereka orang kaya, sawah mereka berhektar-hektar dan Sum akan hidup bahagia dengan pemuda itu."

Perih hati yang dirasakan Sum. Bagaimana tidak, bapak yang selama ini membesarkannya seolah tidak menginginkannya.

"Kenapa Bapak seolah ingin selalu membuangku? Apakah aku ini bukan anakmu?" ucapnya pelan. Ia mengangkat wajah dengan tatapan lekat pada sang bapak, "Kebahagiaan itu tidak lantas dari harta, Pak. Banyak jalan menuju kebahagiaan. Kenapa harus harta yang Bapak pilih untuk membahagiakanku? Yang sebenarnya justru menjatuhkanku."

Hartono sejenak tercekat dan terdiam dengan ucapan anak gadisnya. Ia tak menyangka, Sum akan mengatakan isi hatinya dengan lancar dan tenang. Walaupun ia tahu, di sudut kelopak bening gadis itu mulai tercetak kabut menutupi penglihatannya.

Laki-laki paruh baya itu memilih pergi dengan napas berburu karena kesal. Ia tak tahu apa yang harus ia sanggah. Dalam hati ia masih menginginkan Sum menerima lamaran itu bagaimana pun caranya.

Saat Hartono berlalu keluar rumah, Sarti mendekati Sum yang tertunduk dengan mata terpejam sembari mengatur deru napas yang tercekat emosi.

"Nak, maafkan bapakmu. Maafkan kami yang tidak adil terhadapmu." Ucapan mamak terdengar serak. Seolah sedang ada beban yang menggelayuti jiwanya. Sum menoleh pada Sarti.

"Maafkan Sum, Mak. Sum minta maaf belum bisa menerima lamaran itu."

—★—

"Apa yang kamu lakukan? Dia itu anakmu, Bang!" pekik Sarti emosi dengan jari telunjuk mengarah tanpa penghalang ke wajah suaminya.

"Dia harus menikah! Sudah waktunya dia menikah!" Hartono membalas pekikan sang istri dengan teriakan yang tak kalah nyaring.

"Tapi Sum gak mau, Bang. Dia masih ingin menikmati hidup. Dia ingin bebas, setelah apa yang Abang lakukan padanya dulu!"

"Mau sampai kapan? Aku udah gak mau ngurus dia lagi! Aku mau mengurus adik-adiknya yang masih butuh biaya buat sekolah! Apa dia gak kasian lihat adik-adiknya?"

Sarti yang malas berdebat lagi memilih pergi ke dapur. Sedangkan Hartono memilih masuk ke kamarnya dengan kilatan emosi yang masih membungkus dada. Sementara itu dari balik pintu luar rumah Sum mendengar teriakan ucapan keduanya. Ia cukup bersyukur karena kedua adiknya masih bersekolah.

Gadis itu segera melangkahkan kakinya ke dalam kamar tanpa sepengetahuan bapak dan mamaknya. Tak sengaja tatapannya mengarah pada mushaf yang mulai berdebu di atas tumpukan buku-bukunya di atas lemari. Sum meraihnya. Al-Qur'an terjemahan tepatnya. Dalam wajah bingung ia membuka lembar demi lembar mushaf itu. Gerakan tangannya terhenti pada satu ayat yang cukup mengena pada perasaannya. Quran surah Ali Imran ayat 200. Dalam hati ia diam dan merenungi kalimatnya.

'Wahai orang-orang yang beriman! Bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.'

Sum segera menutup kalam Allah itu dan meletakkannya di tempat semula. Ia bergegas ke luar kamar hendak menemui si bapak. Namun langkahnya terhenti saat ia mendengar Hartono menghubungi seseorang.

"Itu terserah kamu! Yang jelas orang pintar itu keramat! Aku ingin Sum menerima lamaran itu. Bilang sama dukun itu, aku akan kasih berapapun yang dia minta asalkan Sum mau menerima lamaran ini."

Napas SurgaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang