21. Sekilas kenangan

3.5K 426 44
                                        


"Sum?"

Sum mengangkat wajah dan mengangguk pelan. Tak ada percakapan bagi sang bapak. Gadis itu memilih bungkam dan terdiam cukup lama. Kekakuan suasana bisa dirasakan oleh ketiganya. Sarti pun tak bisa komentar apa-apa.

Tanpa disangka Sum bangkit dan mencium punggung tangan Hartono.

"Apa kabar, Bapak?" tanyanya lembut.

Hartono tersenyum dan mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia mengusap kepala Sum. Sum tercekat sejenak. Bagaimana tidak, selama Hartono menjadi seorang 'bapak' bagi Sum, baru kali ini gadis itu bisa melihat ketulusan Hartono sebagai bapak.

"Maafin bapak selama ini ya, Sum," ucapnya pelan. Hartono yang biasanya selalu bersikap datar pada Sum kini menatapnya lekat dengan kasih sayang, "Bapak merahasiakan semuanya. Maafin bapak," lanjutnya.

Sum terdiam, "Kenapa harus dirahasiakan, Pak?" Gadis itu masih dilingkupi rasa penasaran.

Hartono menghela napas sejenak, "Bapak cuma gak mau kamu beranggapan rumah ini bukan rumah kamu, keluarga ini bukan keluarga kamu."

Bukankah Bapak juga gak pernah anggap aku sebagai anak?

Setelah mengatakan itu, Hartono beranjak masuk ke dalam kamarnya. Tak lama kemudian, ia kembali keluar kamar membawa baju dan selimut kecil.

"Ini milik kamu, Nak." Sum mengambilnya.

"Ini apa, Pak?"

"Ini pakaian dan selimut yang kamu pakai sewaktu aku mengambilmu dari Nyonya Mishall."

"Bapak masih menyimpannya?"

Hartono mengangguk singkat. Sum bisa melihat ekor mata sang bapak berair. Hartono kembali beranjak.

"Bapak keluar dulu masih ada keperluan sebentar," ujar Hartono tanpa melihat pada Sum. Ia lanjut berlalu begitu saja.

Sum menoleh pada Sarti yang sejak tadi hanya diam.

"Nak, jangan benci bapak ya?"

Sum menggeleng cepat, "Sum gak pernah benci siapapun, Mak. Apalagi sama bapak. Justru Sum merasa bapaklah yang gak suka sama Sum." Sum tertunduk pilu.

Sarti menggenggam tangan Sum, "Setelah kamu pergi. Bapakmu cerita sama mamak. Dia sangat menyayangimu, Nak. Dia masih menyimpan bajumu waktu bayi. Baru pertama melihatmu, dia sudah sangat menyayangimu. Kami mengasuhmu saat belum punya anak. Dulu, bapakmu-lah yang selalu menggendong kamu. Melatihmu berbicara dan berjalan. Mamak sempat heran dengan perubahan sikapnya saat kamu beranjak dewasa. Apalagi dia menitipkanmu pada Paman Sunarto."

Sum masih mendengarkan. Sarti semakin erat menggenggam tangannya.

"Bapakmu bukan benci sama kamu, tapi dia benci sama kesepakatan dengan Nyonya Mishall. Dia sudah terlanjur menyayangimu. Namun mengingat kesepakatan itu, dia harus mengabaikan perasaan sayangnya padamu. Kamu mengerti 'kan maksud mamak? Dia takut kehilanganmu. Seperti saat ini. Kau sudah jauh dari bapak dan mamak."

"Apa hal itu bisa jadi alasan bapak menjauh dari Sum, Mak?"

"Semakin sayang seseorang pada kita dan dia tahu akan kehilangan, tentunya dia akan semakin menjauh karena takut rasa kecewa itu semakin dalam."

Sum mencoba memahami, tapi dari hati terdalamnya, ia menolak kata-kata itu.

"Sum rasa itu bukan sikap bijak. Seseorang yang tulus menyayangi hanya akan fokus sama kebahagiaan orang yang dia sayangi," tukasnya.

"Tiap orang punya cara pandang berbeda, Sum."

Kenapa semua orang mengatakan seperti itu hanya sebagai alasan? Melarikan diri dari kebenaran.

Napas SurgaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang