"Tapi setidaknya kamu nyari, Nat," ujar sang papi—Sohibintoro.Pemuda yang dimaksud bukannya menyahut, malah melangkah keluar rumah dengan angkuh. Tanpa menoleh lagi, ia masuk ke dalam mobilnya.
"Sabar, Pi," ujar sang istri sembari mengusap bahu suaminya yang tengah mematung.
"Dia belum berubah, Mi." Sohibintoro menggelengkan kepalanya pelan.
"Anak muda gak bisa dipaksa. Papi harus pahami itu." Nada lembut sang istri—Hartatik lumayan menenangkan jiwanya.
"Dia bukan anak muda lagi, Mi. Usianya sudah 28 tahun. Sudah waktunya dia nikah."
"Mami udah usahakan kenalin dia dengan temen mami," lanjut Hartatik. Sohibintoro menoleh pada istrinya.
"Siapa Mi?"
"Itu anaknya Wayan, namanya April. Anaknya cantik, Pi. Lulusan terbaik universitas lagi." Sohibintoro berbinar.
"Segera adakan pertemuan dengan mereka, Mi."
"Oke, Papi sayang. Biar Mami yang urus semuanya."
—★—
Sum duduk di warung bambu ladang seperti biasa. Tatapannya menerawang ke depan. Tepatnya pada hamparan sawah. Ia tersenyum sendiri melihat burung yang saling berebut padi yang masih muda.
"Semakin tinggi padi, dia akan semakin merunduk. Namun aku kalah sama padi. Bagaimana aku bisa merunduk? Mau jadi orang tinggi, punya jabatan dan kekayaan aja jalannya aja susah," ucapnya bermonolog. Ia menyenderkan kepalanya ke penyangga warung.
"Apa semua orang di dalam dirinya hanya menganggap harta dan jabatan itu yang terpenting?" Sum menoleh. Ganda sudah ada di dekatnya tersenyum padanya. Sum membalas senyuman pemuda itu.
"Setidaknya di dunia ini, itu yang bisa dicari."
"Kebahagiaan bukan hanya dari itu semua, Sum. Banyak orang kaya yang gak bahagia."
Sum terkekeh pelan. "Masa sih, Mas? Pasti orang itu gak sadar punya harta."
"Maksudnya?"
"Kurang bersyukur mungkin." Ganda mengangguk paham. Ia tertawa pelan. Sum pun ikut tertawa.
"Mas sudah bilang ke Rista mau ke sini?" tanya Sum. Ganda tak menjawab. Ia memilih bungkam. Sum tak menanyakannya lagi. Gadis itu tersenyum kecut.
"Saat kita berdua, aku hanya minta jangan bahas dia di sini," ujar Ganda pelan.
Sum diam. "Seperti yang aku bilang di awal, aku akan ikuti permainan ini dulu, Mas. Mungkin saja akan tiba waktunya sebuah keputusan. Keputusan dari takdir."
"Maaf, Sum."
"Takdir sudah biasa mempermainkanku, Mas. Aku terima. Aku akan tunggu sampai takdir lelah bermain denganku. Dan menggantinya dengan permainan baru."
Ganda tak bisa menjawab apa-apa. Perkataan gadis polos itu tak dapat ia sanggah lagi.
Terkadang seseorang yang banyak diam, ucapannya lebih bermakna dari pada seseorang yang banyak mengumbar perkataan, pikirnya.
Mereka terdiam cukup lama. Sampai akhirnya Ganda memilih pamit pergi terlebih dahulu. Sum hanya mengangguk sembari tersenyum tipis. Ia memandangi jejak langkah pemuda itu yang mulai menjauh.
"Mas Ganda itu bagaikan lereng tinggi yang gak bisa aku daki. Terlihat sangat dekat, namun sebenarnya jauh," gumamnya.
Sum pun beranjak dari warung dan melangkah pulang. Namun pergerakan tubuhnya ditahan oleh seseorang, tepatnya ia memukul pelan pundak Sum. Tanpa menoleh, Sum sudah tahu siapa orangnya dari parfum yang orang itu pakai.

KAMU SEDANG MEMBACA
Napas Surga
SpiritualCantik dengan fisik mendekati sempurna tidak menjadikannya sebagai gadis penyuka kosmetik dan fashion. Kemayu Kusuma, si gadis polos yang menyimpan banyak luka di hatinya. Pengalaman masa lalu membuatnya harus menutup semua cerita. Namun satu kebias...