Malam itu Sum memilih duduk di kursi taman belakang rumahnya. Pemandangan yang tak terlalu luas itu cukup memberinya suasana damai. Jam di dinding menunjuk angka 9 malam. Mamanya belum pulang kerja. Padahal bagi Sum sendiri, ini sudah jam malam yang seharusnya seluruh anggota keluarga berada di rumah.Bayangan kejadian siang tadi berderet mengantri di benaknya. Ia memejamkan mata dan menghela napas pelan. Yang berputar dalam alam pikirnya adalah Adinata. Sum membuka mata dan menggeleng pelan.
"Tak seharusnya laki-laki itu muncul dalam pikiran. Itu tidak akan baik." Hatinya memproteksi.
Sum bangkit hendak menuju kamar. Namun derit bunyi ponsel di saku menghentikan laju kakinya.
"Adinata," gumamnya.
Ia segera mengusap tanda hijau pada benda tipis itu.
"Assalamu'alaikum," sapa pemuda itu dari arah seberang sana.
"Wa'alaikumussalam ...."
"Shakila ... kamu belum tidur?"
"Belum."
"Aku rasa besok aku akan menjemputmu."
"Ke mana?"
"Ke rumah Tante Nina."
Sum diam dan berpikir sejenak. Kondisinya sudah benar-benar pulih dan memang ia harus segera bekerja.
"Aku akan berangkat sendiri. Aku bisa naik kendaraan umum."
"Kenapa kalo aku menjemputmu?"
"Aku tak biasa merepotkan orang lain."
"Gak pa-pa, oke besok aku jemput."
Dan setelah itu, Adinata mematikan sambungan teleponnya. Sum masih bergeming dan memejamkan mata merasakan embusan angin malam.
-★-
"Mama jelasnya melarang, Nak. Kamu masih dalam pemulihan," kilah Mishall tak setuju saat Sum bilang akan berangkat kerja.
"Aku sudah sembuh, Ma."
"Tapi, Shakila ...."
"Kalo mama pengen aku berhenti kerja, berhenti juga dari pekerjaan haram mama itu," tukas Sum tegas.
Mishall hanya membuka mulut, tak bisa berkata apa-apa lagi. Perkataan Sum memang tidak salah, tapi ia juga menganggap anaknya itu tidaklah seratus persen benar. Ia berkilah bahwa ia hanya menyewakan jasa tempat penginapan. Selebihnya ia tak tahu apa-apa.
"Baiklah, tapi mama minta jangan kecapean."
Sum hanya mengangguk singkat. Setelah mencium punggung tangan sang mama, ia lekas berangkat. Sum memang sengaja berangkat lebih awal, ia tak mau Adinata menjemputnya. Bukan karena malas bertemu pemuda itu, namun ia hanya tak ingin punya cerita lagi dengan seorang laki-laki.
Bagaimanapun juga, aku malu dengan hijab panjang ini, benaknya bersuara.
"Shakila ...," panggil Mishall. Sum membalikkan badan.
"Ya, Ma?"
"Kemarilah sebentar."
Sum melangkah mendekati Mishall dan duduk di sampingnya. Mishall tersenyum lembut menatap anak gadisnya seraya mengusap puncak kepala Shakila.
"Shakila, kau sudah menjadi seorang gadis, Nak. Kamu beranjak dewasa. Mama hanya pesan, hati-hatilah dalam bergaul dengan siapapun. Termasuk ...." Ucapan Mishall terhenti.
"Termasuk?" Sum mengernyitkan keningnya.
"Adinata. Termasuk pemuda itu. Entah kenapa, mama kurang suka pada dia. Walaupun mama tahu, dia dari keluarga baik-baik."
KAMU SEDANG MEMBACA
Napas Surga
SpiritualCantik dengan fisik mendekati sempurna tidak menjadikannya sebagai gadis penyuka kosmetik dan fashion. Kemayu Kusuma, si gadis polos yang menyimpan banyak luka di hatinya. Pengalaman masa lalu membuatnya harus menutup semua cerita. Namun satu kebias...